Menjadi sebuah kekhawatiran apakah ibu kota negara baru aman atau tidak…
Pandemi Covid 19 tidak menghalangi pemerintah untuk terus membangun Ibukota Negara baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Secara geografis lokasi pembangunannya sangat strategis, mengingat bentang wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke lebih dari lima ribu kilometer. Letak ibukota baru bila disandingkan di peta negara kita lokasinya nyaris berada di tengah tengah atau Center of Gravity, beda dengan Jakarta yang secara lokasi sangat dekat dengan Wilayah Indonesia Barat namun jauh dari Wilayah Indonesia Tengah apalagi Wilayah Indonesia Timur.
Memang ini tidak jadi masalah, mengingat Ibukota Amerika Serikat di Washington DC terletak di Pantai Timur dan sangat jauh bilamana harus menjangkau kota Pantai Barat seperti Los Angeles atau San Francisco apalagi Honolulu Hawaii yang bahkan lebih dekat ke Asia daripada Ibukota Negaranya. Namun dikarenakan Indonesia tidak semaju Amerika Serikat secara pemerataan ekonomi dan pembangunan, ditambah lagi dengan banyaknya permasalahan di Jakarta seperti banjir, tanah yang terus turun dan ditambah lagi semrawutnya penggunaan lahan maka ide Presiden Jokowi untuk membangun Ibukota Negara baru tidak terelakkan lagi. Namun yang sering menjadi pertanyaan, apakah ibu kota negara baru aman untuk ditinggali?
Pemilihan Penajam Paser Utara
Pemerintah tidak gegabah dalam menentukan lokasi ibukota baru, berbagai lokasi dan kajian sudah dilakukan, dimana yang terpilih akhirnya adalah Penajam Paser Utara. Salah satu yang menarik adalah kajian mengenai resiko kebencanaan, dimana lokasi ibukota baru diklaim lebih minim aspek bencana.
Namun di aspek Militer apakah lebih aman? Atau justru malah mendekat ke ancaman? Perlu pendekatan lebih dalam soal ini. Harus kita lakukan analisa mulai dari stabilitas politik regional sampai kepada kemampuan kita untuk menggelar Alutsista untuk meniadakan ancaman.
Hal ini tidak boleh kita anggap remeh dan harus menjadi atensi bersama, mengingat pembelian Alutsista bukan barang murah dan untuk mendatangkannya pun butuh waktu. Bahkan ketika sudah adapun harus siap secara operasional dalam hal kesiapan, dan ini membutuhkan biaya sangat besar. Salah satunya adalah latihan dengan skenario ancaman musuh akan menyerang ibukota baru. Lagi lagi butuh perencanaan sangat matang akan hal ini.
Apa Ancaman Keamanan Ibu Kota Negara baru?
Bicara Ancaman maka akan menyambung dengan bahasan Sistem Pertahanan dan Keamanan Ibu Kota Negara baru. Beberapa waktu lalu Kementrian PPN / Bappenas sudah menyiapkan rancangan pembangunan pertahanan keamanan di Ibu Kota Negara baru, kesiapan serta instalasi pertahanan keamanan menjadi syarat keberlangsungan pembangunan demi meminimalisir ancaman.
Gelar kekuatan menjadi nilai deteren bagi pihak yang ingin mengganggu stabilitas politik dan ekonomi Ibu Kota Negara baru kita. Lantas apa yang perlu kita pahami di awal khususnya definisi ancaman?
Mengingat perubahan jaman dan teknologi yang berkembang pesat, saat ini hampir seluruh ancaman baik darat, laut dan udara maupun siber sangat erat dengan teknologi tinggi. Tingkat presisi dan kerusakan yang dihasilkan semakin masif, berkat algoritma komputer dalam mode pertempuran modern, prajurit yang bertempur baik di pesawat tempur maupun kapal perang saling terkoneksi dalam menentukan target yang sudah diprofiling dan amati intelijen sebelumnya. Ancaman ini sangat tidak boleh dianggap remeh dan lagi lagi membutuhkan persiapan matang untuk mencegahnya.
Dalam Masterplan yang dibuat oleh Kementrian PPN / Bappenas, sudah disiapkan berbagai kemungkinan termasuk ancaman serangan CBRNE atau kimia, biologi, radiologi dan pertahanan nuklir. Secara umum dalam komponen arsitektur pembangunan, ada empat komponen utama yang tidak boleh dilupakan:
- Intelligence
- Pertahanan
- Keamanan Dalam Negeri
- Siber
Pentingnya Sinkronasi
Keempatnya harus bisa bersinkronisasi dan terbangun dengan memperhitungkan skala ancaman dan rentang waktu. Secara keseluruhan ini tidak lepas dari anggaran dan efektivitas ketika pemeliharaan, dengan tujuan alat ini siap pakai bilamana terjadi hal darurat. Mengenai anggaran ada istilah Cost Effectiveness, yaitu melihat dari berbagai aspek apakah alutsista yang dibeli tersebut sudah sesuai atau tidak, dan berapa lama bisa dipakai sampai kepada biaya operasional dan perawatannya. Sekaligus harus pemerintah pastikan harus bisa terawat minimal sampai 20 puluh tahun lebih, mengapa harus minimal 20 tahun?
Berikut Pertimbangannya:
Anggaran TNI memang sangat besar tapi perlu kita catat, bahwa penggunaan anggaran lebih kepada mayoritas belanja gaji prajurit, sedangkan untuk alokasi pembelian justru tidak terlalu besar. Hal ini menjadi dilema ketika kebutuhan prajurit kita yang besar tidak boleh kita abaikan, apalagi ada kenaikan gaji tahunan para prajurit juga penting demi menjaga profesionalitas dan kesejahteraan prajurit.
- Banyak sekali Alutsista tua yang sudah tua namun masih sering kita pakai. Dengan alasan masih layak dan belum ada yang menggantikan, Peralatan yang sudah berumur masih kita pakai meski resiko keselamatan prajurit jadi ancaman. Semakin tua alat maka semakin mahal pula perawatannya karena banyak sparepart yang harus segera kita ganti seiring jam operasional yang bertambah.
- Anggaran perawatan tidak terlalu besar, tapi jam operasional pakai relatif tinggi. Sehingga Alutsista akan terus terpakai meskipun kemampuan Alutsista berkurang. Perawatan yang dilakukan dengan cara mengganti sparepart dengan klaim menjaga performa sistem daya gerak dan senjata bukan segalanya. Pasalnya, umur tidak bisa bohong. Komponen rangka atau frame akan mengalami penurunan, satu hal yang penting dan perlu menjadi perbandingan adalah tiap tahun selalu ada perkembangan sistem kesenjataan yang semakin maju dan kemampuannya semakin lincah dan mematikan.
- Modernisasi cenderung telat, Alutsista canggih yang menjadi impian dari para petinggi TNI terhalang oleh anggaran, belum lagi negosiasi pembelian senjata harus di level tinggi yaitu pimpinan kementrian pertahanan negara kita dan pimpinan kementrian pertahanan dari negara yang alatnya kita beli. Membeli senjata tidak seperti membeli mobil impor yang bisa kita pakai asal ada uang. Untuk membeli Alutsista skemanya cukup rumit. Ada uang juga belum tentu diberi lampu hijau untuk membeli, terkadang ada perjanjian yang cukup rumit, bahkan Amerika Serikat memberlakukan kebijakan CAATSA kepada kita bilamana membeli Alutsista dari negara Russia. Mau tidak mau pertimbangan strategis seperti ini jadi pengganjal para perencana untuk bisa melakukan skema penjajakan.
Faktor Tiongkok
Satu hal lagi yang tidak boleh terlupakan, adalah dinamika politik yang terjadi, khususnya gejolak di kawasan. Agresivitas Tiongkok dalam klaim Laut Cina Selatan atau dalam istilah kita Laut Natuna Utara semakin tidak terbendung.
Mayoritas negara di ASEAN cukup khawatir dengan pergerakan Kapal Selam atau Pesawat Pengintai Tiongkok yang kuat dugaan sering melintas masuk ke kawasan seolah menunjukkan bagaimana kekuatan mereka saat ini. Filipina bahkan Taiwan sangat geram dengan tingkah laku Tiongkok yang terlalu show off kemampuan militernya, Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan perlu waspada akan gerakan lincah Tiongkok. Untuk dinamika kawasan ada 3 hal yang menjadi catatan.
FPDA
Five Power Defense Agreement. Lokasi Ibu Kota Negara baru berada di tengah negara Aliansi Pertahanan yaitu Inggris, Malaysia, Singapura, Australia dan Selandia Baru. Kedekatan geografis mengakibatkan mudahnya potensi gesekan antar negara termasuk negara anggota FPDA, letaknya yang dekat memudahkan mereka dalam melakukan serangan kilat.
Manakala eskalasi gangguan keamanan muncul dan jalur diplomasi gagal beraksi, maka ancaman militer tidak terelakkan. Objek vital seperti Ibu Kota langsung menjadi sasaran, serangan rudal dari Pesawat Tempur dan Kapal Perang harus bisa kita antisipasi. Belum lagi infiltrasi Pasukan Elit yang pastinya sudah masuk dengan bantuan Intelijen yang sudah eksis sebelumnya. Pasukan Elit ini masuk sebagai metode awal menculik atau membunuh Pejabat Tinggi atau Militer negara kita atau melakukan penghancuran gedung penting.
OBOR
One Belt One Road, Tiongkok sangat agresif dalam membangun kekuatan perekonomiannya. Namun jangan pernah berpikir bahwa hanya ekonominya yang dikembangkan, dikarenakan membangun ekonomi berarti juga membangun kekuatan pertahanan. Progres mereka dalam membuat pangkalan militer dan membangun armada tempur tak boleh kita anggap sebelah mata.
Sistem senjata yang mereka buat bertujuan untuk misi. Yaitu Berperang. Itulah sebab Taiwan sangat kesal dengan agresivitas Tiongkok. Sikap ini diikuti Amerika Serikat yang sebagai sekutu kerap kesal dengan pergerakan yang Tiongkok lakukan. Indonesia memang berposisi sebagai mitra strategis di ASEAN. Tapi jangan sampai itu membuat kita terlena. Kenapa? Saat ini mata Tiongkok sudah mengarah ke Laut Cina Selatan yang menyimpan kekayaan potensi alam yang sangat tinggi. Kekuatan Tiongkok tentu akan cepat bilamana terarah ke Ibu Kota baru dalam rangka melemahkan atau sekedar show off dalam rangka kepentingan nasionalnya.
AUKUS
Merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States of America. Ancaman mereka sudah jelas yaitu Tiongkok. Yang menjadi masalah lagi adalah lokasi kita di antara Tiongkok dan Australia. Bila kita tinjau dari daya gerak armada tempurnya, maka akan ada peluang pertempuran akan terjadi di wilayah negara kita. Ibu Kota Negara baru harus siap dan memiliki daya tempur yang tinggi. Harapannya, negara negara tersebut tidak akan masuk dan mengancam keselamatan masyarakat kita, khususnya wilayah Ibu Kota baru.
Kesimpulan
Lantas apakah kita sudah siap membangun pertahanan Ibu Kota Negara baru? Apakah Ibu Kota Negara Baru benar benar aman? Jawabannya adalah Harus Siap. Tidak boleh ada tawar menawar dalam ketahanan nasional, semua harus bersatu dalam kepentingan yang sama. Pertahanan tidak hanya urusan TNI saja tapi juga kesadaran bela negara seluruh komponen masyarakat.
Yang perlu menjadi atensi. Sisi laut Ibu Kota baru langsung berhadapan dengan ALKI II. Sisi ini akan menjadi perlintasan kapal dagang internasional. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan di bawah laut kapal selam musuh akan datang secara diam diam.
Untuk penguasaan ruang udara atau FIR secara kontrol wilayah udara Kalimantan Timur berdekatan dengan FIR negara tetangga.
Ditambah lagi ancaman rudal balistik antar benua atau ICBM dari negara negara yang memiliki di kawasan, radius tembaknya sampai ke Ibu Kota Baru.
Ancaman Siber juga menjadi prioritas mengingat serangannya bisa melumpuhkan jaringan, bila jaringan lumpuh maka ekonomi akan mati. Namun untuk ancaman siber harus dibangun dengan studi kelayakan khususnya ancaman sampai puluhan tahun kedepan. Mengingat jaman sudah semakin terdigitalisasi. Konsep Smart City harus bisa berdasar benteng digital yang kuat.
Kita akan menunggu bagaimana Undang Undang Ibu Kota Negara yang baru sebagai landasan hukumnya. Setelah itu, kita akan melihat bagaimana layout pertahanan kita. Baik dari Darat, Laut, Udara dan Siber. Semoga bangsa kita dengan Ibu Kota Negara baru bisa mengimplementasikan dengan baik !!
Baca juga :
Jakarta Bikin Stress, Tapi Narkoba Haram
Mengapa Ibu Kota Negara Langganan Banjir?