Kalau berbicara soal perempuan dan sekolah, pasti banyak banget pro dan kontra tentang dua hal ini. Masyarakat kita secara historis cenderung membatasi kebebasan perempuan untuk berkembang, terutama meraih pendidikan tinggi. Jaman dulu, nih, perempuan tak punya banyak peluang untuk menimba ilmu lebih lanjut. Para lelakilah yang masyarakat prioritaskan untuk belajar setinggi mungkin dan menjadi pemimpin bangsa. Jarang kita temukan wajah pemimpin perempuan di masa lalu. Mereka menganggap perempuan sebagai golongan masyarakat yang perlu diberi limitasi agar kedudukannya tidak menyaingi kaum adam.
Tapi dunia sudah berubah. Perempuan kini punya hak yang setara dengan kaum laki-laki di segala aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pilihan karir, sampai menentukan kapan untuk menikah. Ngomongin soal nikah, nih, perempuan modern kini bertransisi untuk mengikuti jalur tidak nikah muda. Kalau dulu banyak perempuan yang sudah menggandeng title istri si pria A sebelum usia 25-30 tahun, sekarang kita bisa menemukan perempuan-perempuan mandiri yang belum menikah. Alasannya? Banyak! Dari yang menunggu kematangan mental dan finansial sampai keinginan mengejar cita-cita untuk menempuh pendidikan lanjut.
Perempuan Itu Takdirnya Jadi Ibu Rumah Tangga!
Dewasa ini, masih ada kok yang beranggapan kalau perempuan itu gak perlu pendidikan tinggi untuk jadi ibu. Kerjaan perempuan cukup mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, bersih-bersih, cuci baju, dan momong anak. Gak perlu, tuh, yang namanya sekolah S1 atau S2 dulu atau mengejar karir.
Well, gak ada salahnya sih menjadi ibu rumah tangga. Toh, anak-anak akan lebih dekat dengan ibu dan bisa mendapat kasih sayang yang cukup. Jadi, mereka gak akan merasa kesepian ditinggal orang tua bekerja seharian. Eits, tapi, beneran nih berumah tangga bagi perempuan itu cuma sebatas masak, nyapu, ngepel, dan momong? Kalau cuma itu-itu aja menyewa asisten rumah tangga sudah kelar, dong. Trus, apa esensi seorang ibu bagi anak?
Jadilah Ibu yang Berwawasan
Sepertinya salah banget ya kalau perempuan pakai alasan ‘Mau kuliah dulu!’ agar tidak dipaksa nikah oleh keluarga. Perempuan menempuh pendidikan tinggi masih jadi fenomena baru dan aneh. Padahal, nih, sekolah tinggi itu penting bagi perempuan, gak hanya untuk pribadi tapi juga masyarakat. Ilmu yang mereka dapat akan lebih banyak, bervariasi, dan berbobot. Mereka juga punya kesempatan untuk berdiskusi mengenai berbagai hal, baik akademik dan non-akademik, dengan berbagai individu. Secara otomatis, pikiran mereka akan lebih terbuka terhadap dunia yang ada di hadapannya. Mereka juga akan lebih bijak dalam menyikapi suatu masalah. Keren, gak, tuh?
Apalagi kalau bawa konteks rumah tangga, nih, yang kita semua tahu masalahnya sangat rumit. Gak cuma soal mengatur keuangan, keperluan sehari-hari, dan pengendalian temperamen diri, tapi juga soal mengasuh anak. Momong anak itu gak semudah membalikkan telapak tangan, butuh keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni agar anak tak salah asuh.
Contoh yang bisa saya ambil adalah memanfaatkan masa-masa emas anak untuk perkembangan otak. Seorang teman saya yang sudah mempunyai anak sering mengunggah postingan tentang Metode Montessori. Ia juga mengaplikasikan poin-poin dari metode itu ke anaknya sendiri dengan memberikan mainan edukatif dan membiarkannya bermain dengan cat warna. Kelihatannya sih agak repot, tapi kegiatan seperti ini bermanfaat, lho, untuk perkembangan si anak. Ia mengaku bahwa dengan metode ini anaknya menjadi cepat tanggap dan responsif.
Bangku akademik memang tak menyediakan kelas asuh anak secara khusus, tapi menempuh sekolah tinggi bisa memicu para perempuan untuk jadi pribadi yang suka belajar dan maju. Alhasil, mereka akan punya pengetahuan asuh anak yang lebih baik dan dapat memilih mana yang pas untuk si buah hati. Jadi gak cuma anak saja yang belajar, para perempuan pun wajib belajar demi menghasilkan generasi hebat untuk bangsa.
Baca juga:
Perempuan Indonesia dan Kata Merdeka: Sebuah Perjalanan
[…] Perempuan Sekolah Tinggi Buat Apa? […]