Minggu ini saya ingin berdiskusi mengenai sebuah film berjudul A Classic Horror Story. Film ini tersedia di Netflix dan bisa kamu tonton langsung. Omong omong, film ini tidak berasal dari Hollywood. Film ini adalah hasil keroyokan beberapa penulis Italia yang kemudian menuangkan film ini dengan judul sederhana A Classic Horror Story. Jadi, inilah dia review A Classic Horror Story versi Pakbob.id
Pembukaan Yang Berkesan Kuat
Film ini memiliki pembukaan yang kuat. Font merah khas film horor yang mencekam. Adegan pembunuhan sadis dengan villain yang tampaknya akan meneror kita dengan maksimal. Lalu juga pengenalan tokoh utama yang kuat dengan foreshadowing gambar santo Fransiskus Asisi dan stigmata ikoniknya yang akan terbayar di ending akhir film. Film ini sekilas memiliki kesan kuat akan meneror kita dengan teknik yang luar biasa.
Namun pembukaan yang berkesan kuat itu mulai tereduksi ketika kita mendapat suguhan formula yang sama, sekelompok anak muda dan satu orang tua yang terjebak dalam hutan misterius. Secara garis besar, plot film ini mulai mengarah ke klise.
Ada rumah hantu di sana. Ada potongan potongan petunjuk kesadisan sang villain. Dan juga muncul tokoh anak anak misterius yang lidahnya dipotong oleh sang villain. Di sini kita mulai terjebak pada formula lawas.
Apakah formula lawas ini salah? Sebenarnya tidak juga, karena kita pelan pelan mulai merasakan kengerian akan hadirnya si villain misterius. Tiga kepala babi yang baru saja disembelih serta mitos tiga ksatria yang diceritakan oleh seorang karakter membuat kita mulai terpacu jantungnya. Namun, ada masalah pelik di sini.
Eksploitasi
Film ini mencoba meneror penonton dengan eksploitasi pembunuhan dan kekerasan yang sangat grafis meski kemudian terpotong di tengah tengah untuk mencegah penonton muntah. Karakter yang hadir nampaknya hanya sekedar hadir untuk menjadi obyek dari kekejaman si villain. Ketika mereka mati, kita tidak merasakan apa apa. Jatuhnya, film ini menjadi genre eksploitasi ala Eli Roth yang menurut saya kurang menarik. Bukan berarti salah karena Quentin Tarantino amat menyukai genre ini meski ia jarang menggunakan teknik horor ini.
Bagi saya eksploitasi membuat kita bergidik pada kesempatan pertama namun di kesempatan berikutnya kita tahu persis bahwa ini cuma film sehingga efeknya takkan masuk ke sanubari.
Film ini lalu melaju dengan lambat dan ini menjadi masalah pelik.
Twist Yang Kuat
Beruntung film ini memiliki twist yang cukup kuat dan puitis. Jelang akhir film kita akhirnya mengetahui wujud asli si villain yang ternyata tidak serem serem amat. Namun, karakter utama yang akhirnya mendapat kekuatan karena inspirasi dari Fransiskus Asisi akhirnya bersinar terang jelang akhir film yang kalau dipikir pikir, cukup bodoh. Namun tak apa karena si gadis naif akhirnya sadar bahwa kekerasan dan kejahatan tak bisa ia biarkan. Ia lalu menjadi beringas dan bengis untuk menghabisi setan untuk kemudian menjalani sebuah proses penyucian yang membuat penonton bertanya tanya pada akhir asli filmnya.
Bagi saya, akhir film ini sangat puitis dan saya mengambil kesimpulan bahwa si tokoh utama akhirnya mendapat penebusan dengan caranya sendiri. Meski begitu, penonton yang lain mungkin akan mengambil kesimpulan berbeda. Semua tergantung bagaimana anda menanggapinya.
Film ini pada akhirnya layak saya tonton untuk mengenalkan saya pada dunia film horor Eropa yang lambat, mengandalkan eksploitasi kekerasan dan menabrak kewarasan.
Love it or hate it. I appreciate this one.
Baca juga :
Alasan Film Jelangkung Adalah Horor Terlegendaris Indonesia
Kisah Asli Bob dan Alice di Facebook