Sudut Pandang Guru Di Tengah Pandemi Yang Masih Menderu

Waktu Baca: 2 menit

Bicara tentang masalah pendidikan di masa pandemi ini pasti tidak ada habisnya. Banyak remaja-remaja yang mengeluh akan banyaknya tugas yang mereka dapatkan, guru-guru yang kurang memberi pemahaman, deadline yang tak berperikemanusiaan, dst.

Protes dari para murid yang mendominasi. Bukannya introspeksi diri dan lebih tekun lagi, mereka menyalahkan guru-guru dan menjadikannya sebagai alibi. Padahal menurutku itu wajar, berhubung adanya pandemi kita memang harus mengejar materi. Mereka—para murid—kerap kali tidak peduli dengan sudut pandang guru yang sesungguhnya punya keluhan tetapi tak bisa mereka luapkan.
Keluh Kesah Guru Senior

Dalam suatu pertemuan, saya mendengar pengakuan seorang guru senior yang bekerja di suatu sekolah dasar. Beliau menceritakan ‘perjuangannya’ guna menyesuaikan diri di masa pandemi. Dengan keterbatasan dan lantaran minim pengetahuan, keadaan memaksa beliau untuk mempelajari serta menyelami dunia teknologi dan modernisasi lebih dalam lagi. Beliau harus membuat berbagai presentasi materi dan menghabiskan hari-harinya di depan laptop untuk itu. Akan tetapi, hasil dari pekerjaan berjam-jam itu hanya butuh beberapa menit untuk dibaca keseluruhannya. Bahkan kadang terkesan sia-sia.

Beliau pun mengeluh akan kenyataan bahwa murid sering nggak menghargai sebagian besar jerih payahnya. Mereka memilih yang instan sehingga mencari penjelasan lewat youtube atau mirisnya sama sekali tak tertarik untuk mengikuti pelajaran. Murid juga sering tidak mengerjakan tugas yang dia berikan.

Pantang Menyerah

Tapi berhubung ia mempunyai tanggung jawab untuk menjadi seorang guru yang sebagaimana digugu dan dituru—beliau tak pernah menyerah. Ia meneruskan hal yang lazimnya ia lakukan. Ia mulai berdaptasi dengan perubahan dan bahkan tak segan untuk mengingatkan murid-muridnya untuk peduli kepada pendidikan mereka.

Banyak cerita yang beliau utarakan. Saya pun kagum dengan semangat beliau yang membara. Padahal, beliau sudah berumur dan bisa bisa kita katakan lanjut usia. Kenyataan tersebut membuat saya makin terinspirasi kemudian berupaya untuk lebih tekun dari sebelumnya—guna menghargai para guru dan pastinya menyejahterakan hidup di masa depan yang pastinya akan penuh perubahan.

Guru perempuan itu menegaskan bahwa kita tidak boleh menyerah atau membiarkan keadaan mengendalikannya. Adaptasi itu perlu guna mengikuti perubahan yang tak terelakkan. Pernyataan tersebut mengingatkanku pada kutipan yang dituliskan seorang aktivis Indonesia—Soe Hok Gie. Ia mengatakan “Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”

Dan bagiku, dalam konteks ini, manusia merdeka adalah ketika sanggup mengatasi keresahan dan beban tanpa lagi mengesah apalagi menyalahkan suasana.

Foto oleh Max Fischer dari Pexels

Baca juga:

Jadilah Guru yang Realistis

Apa Itu Teaching Loss Dan Gimana Caranya Mengatasi?

Veronika Aneyla Revalina
Veronika Aneyla Revalina
Seorang wanodya pecinta secangkir teh hijau nan sederhana. Kalian bisa mengenalnya lebih jauh di @aneylarevaa_

Similar Articles

Comments

  1. Memang banyak siswa siswi yang mengeluh perkara pembelajaran saat pandemi, ada yang beralasan tidak faham sama tugasnya, sama penjelasan guru, sinyal ilang ilangan, atau kuota habis. Mereka bisa saja numpang ke wifi tetangga ataupun ke warkop (warung kopi) buat para cowok–yang mana sering mengeluh akan hal itu– yang biasanya suka nongkrong disana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Advertisment

TERKINI