Waktu Baca: 3 menit

Sejak tahun 2019 yang lalu, Penambangan Blok Wabu yang berada di Kabupaten Intan Jaya mengalami konflik. Bahkan hingga sekarang konflik tersebut terus memanas. Pengembangan Blok tambang emas yang satu ini menuai respon yang kurang baik dari masyarakat Intan Jaya. Mereka khawatir bahwa  penambangan ini akan mengancam hak asli orang-orang asli Papua. Bahkan penambangan ini nyatanya sejak 2019 lalu sudah ada sejarah pelanggaran HAM terhadap saudara-saudara kita di Papua.

Berbagai Macam Pelanggaran Hukum Di Papua 3 Tahun Terakhir

Sejak 2018 yang lalu, konflik di Papua terus meningkat. Bahkan jika kita berbicara tentang pembunuhan/penghilangan nyawa, dari tahun 2018, angkanya cukup banyak. Tahun 2018 yang lalu terdapat 12 kasus dengan korban mencapai 18 orang. Tahun 2019, terjadi 16 kasus dengan jumlah korban 32 orang. Pada 2020 yang lalu, terjadi 19 kasus dengan jumlah korban mencapai 30 orang. Satu tahun yang lalu, tahun 2021, terjadi 11 kasus yang menelan 15 korban.

Sementara itu, kalau kita menilik siapa “penyebabnya”, maka kita bisa bagi menjadi 3 kategori. Militer memakan korban 37 warga sipil. Polisi sejumlah 17 warga sipil. Operasi gabungan (militer dan kepolisian) memakan korban 39 orang warga sipil dan petugas penjara yang menyebabkan korban 2 warga.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) menambahkan jika melihat peta kasus maka yang tertinggi terjadi di Kabupaten Intan Jaya. Tempat pengembangan blok untuk penambangan ini bahkan harus kehilangan 12 korban yang diakibatkan oleh 8 kasus yang terjadi. Sementara di daerah lain juga muncul korban, bahkan di daerah perkotaan sekalipun.

“Terdapat 94 warga asli Papua yang menjadi korban. Sementara itu ada 1 orang Papua asli yang menjadi korban pembunuhan”, lanjut Usman.

Apa yang Terjadi Menurut Perempuan Intan Jaya dan Majelis Rakyat Papua

Ciska Abogau, seorang perempuan dari Intan Jaya dan anggota Majelis Rakyat Papua mengatakan hal ini bermula pada tahun 2019 lalu. Melengkapi penjelasan Usman, pada bulan Agustus, terjadi peristiwa pembunuhan terhadap seorang tukang ojek dari Bilogai, Kabupaten Intan Jaya. Setelah terjadi peristiwa ini Majelis Rakyat Papua, pada bulan November untuk melaksanakan kegiatan yang juga sudah mereka rencanakan juga di Distrik Bilae. Sayangnya acara ini urung terjadi karena peristiwa yang sudah diceritakan.

“Singkat kata, tahun 2019 sekitar tanggal 13 Desember, pasukan sudah drop di Sugapa. Setelah saya pulang dari Sugapa, masyarakat menelpon saya. Di Sugapa ada bentrokan TNI”, cerita Ciska.

Ciska menambahkan jika gedung SD YPPK Titigi sudah digunakan oleh TNI dan Polri dan membuat masyarakat ketakutan. Ciska dan teman-temannya akhirnya menemui masyarakat, masyarakat yang sudah ketakutan menyebut Ciska dan kerabatnya adalah penyelamat.

“Padahal bukan penyelamat, tapi kami turun melihat mereka”, ungkap Ciska.

Pada tanggal 28, Ciska akhirnya menuju ke Jayapura dan melaporkan apa yang sedang terjadi dan bertemu Paulus Waterpaw di Polda. Dia melaporkan agar TNI dan Polri yang menempati SD YPPK Titigi untuk segera dipindahkan. Ciska juga melaporkan bahwa sejatinya area itu ada untuk Misi (Misionaris). Ciska mengatakan bahwa TNI tidak bisa tinggal di sana.

Setelah laporan ini Ciska mendapatkan kabar dari orang tuanya. Orang tua Ciska mengabarkan jika akhirnya para aparat sudah pindah dari SD YPPK Titigi dan pindah ke tempat yang jauh.

Mulai 2020, Ciska bercerita bahwa mulai banyak korban yang berjatuhan. Menurut catatan MRP, mereka punya catatan korban. Saat Melki Tipagau (12) dan tewas di Galunggama, ibunya diberangkatkan ke Timika karena mendapatkan siksaan. Saat mengecek kebenarannya, ternyata Ciska menemukan bahwa kakinya sudah cacat.

“Mereka ada di situ. Mereka tidak mau tinggal di Intan Jaya karena anaknya sudah dibunuh”, lanjut Ciska bercerita.

Setelah ini mulai makin banyak korban berjatuhan, sempat hilang dan meninggal terbakar di drum akibat masalah penambangan blok Wabu.

Masuknya PT Freeport di Blok Wabu Adalah Pelanggaran HAM

Yones Douw, pembela HAM asal Papua mengatakan bahwa PT Freeport masuk ke blok Wabu adalah pelanggaran HAM. Yones bercerita bahwa masuknya Freeport tidak meminta izin dari pemilik hak ulayat, yaitu suku-suku Amume. Dengan ketidaktahuan suku Amungme terhadap hal-hal di luar mereka dimanfaatkan oleh para eskploitasi. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan warga pulau Wabu akan hak ulayat yang mereka miliki.

“Itu sama seperti pencuri yang masuk”, tegas Yones.

Sampai saat ini Yones dan timnya sudah mendata jika sudah ada berbagai pelanggaran. Terdapat 11 marga yang ada di Pulau Wabu. Dari 11 marga tersebut sudah ada 11 orang yang meninggal karena tertembak oleh TNI dan Polri. Bahkan Pdt. Yeremias Sanambani hingga sekarang masih hilang dan belum ada yang mengetahui apakah Sanambani masih hidup atau tidak. Dia menjelaskan juga bahwa korban-korban yang sudah tersampaikan ada para pemilik hak ulayat.

Saat ini, kasus yang sedang terjadi di Blok Wabu, itu merupakan kasus pelanggaran HAM. Kasus ini bakalan meningkat”, cerita Yones.

“Saya menggaris bawahi bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa diam mengatakan kalau mengatakan akan menyelesaikan secara damai”, lanjut Yones.

Yones juga bercerita bahwa penambangan Blok Wabu beserta operasi militernya membuat banyak instansi pelayanan masyarakat berhenti total. Pelayan SD, Kesehatan,administrasi bahkan pemerintahan sudah berhenti total. Dia juga mengatakan bahwa apa yang pemerintah lakukan termasuk pemekaran Papua tidak akan menyejahterakan Papua. Banyak yang hatinya sudah luka karena saudaranya sudah meregang nyawa, mereka sudah kehilangan kepercayaan kata Yones. Yones meminta pemerintah bahwa penyelesaian masalah di Papua bisa selesai jika mau duduk bersama dengan OPM. Yones membandingkan masalah Papua dengan Aceh.

“Pemerintah bisa melakukan ini di Aceh, kenapa di Papua tidak bisa?”, tanya Yones.

Baca juga:

Lestarinya Kultur Kekerasan di Tanah Papua

Cultural Appropriation Melalui Nagita Slavina Pada Papua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini