Wacana perpanjangan masa jabatan presiden memang sudah lama menguap dari permukaan tanah politik di Indonesia. Ide dari tiga partai politik ini seketika menimbulkan perdebatan di lapisan masyarakat, kebanyakan menyatakan kontra dengan gagasan tersebut. Tak sedikit pula tokoh-tokoh dari dunia politik yang mengkritik usulan perpanjangan masa jabatan pemimpin negara ini. Masyarakat, sebagai komponen penting dalam negara demokrasi, akhirnya mengeluarkan pendapat untuk tidak menyetujui gagasan tersebut. Terlebih, Presiden Jokowi juga menyatakan keengganan untuk memberi ACC ke celetukan tiga tokoh partai politik tadi.
Mengenai hal ini, ketua umum Parta Buruh, Iqbal Said, dalam konferensi pers online kemarin (2/2) menegaskan pandangan para buruh secara panjang lebar. Secara singkat, ia menolak dengan tegas usulan memperpanjang masa jabatan presiden. Apa saja alasannya?
Melanggar Konstitusi
Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, masa jabatan presiden memang sudah diatur dalam UUD 1945, yaitu lima (5) tahun dengan maksimal dua (2) periode. Artinya, seorang presiden hanya mendapat kesempatan untuk memimpin negara ini selama maksimal sepuluh tahun. Jika masa jabatan yang sudah tercantum ini dilanggar dengan menambah jumlah tahun, maka ini sama saja melanggar konstitusi. Bagi Said, sebuah negara dengan demokrasi sehat adalah negara yang memiliki partai politik yang berorientasi ke konstitusi. Kasus gagasan perpanjangan masa jabatan presiden, menurutnya, melanggar konstitusi yang berlaku di negara Indonesia. Selain itu, ia menganggap jika gagasan ini ngawur dan tak punya alasan kuat selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Eh, tapi memangnya ada hubungannya dengan peningkatan ekonomi?
Tak Ada Relasi dengan Ekonomi
Alasan semata wayang dari gagasan itu adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Said membeberkan jika perpanjangan masa jabatan tak ada hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi negara. Dengan menggunakan data BPS di tahun 1961 dan 1991, Said mengkritisi gagasan nyeleneh dari anggota partai politik tersebut. Kondisi ekonomi di tahun 1961 dan 1991 berada jauh di bawah jika kita bandingkan dengan data di tahun 2021. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingginya inflasi dan angka pengangguran, serta rasio gini yang juga tinggi tak menyurutkan antusiasme masyarakat untuk berdemokrasi. Pemilu pada masa itu masih berjalan dengan semestinya. Dengan kata lain, kondisi ekonomi lemah tak menjadi pemicu macetnya jalan demokrasi di negara kita di masa lalu.
Jadi, kalau tiga tokoh partai politik tersebut tetap bersikeras dengan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden, sudah pasti mereka tak punya dasar yang konkret sebagai penguat. Said menyayangkan sikap tiga tokoh itu yang ia anggap sebagai ‘asal bunyi’ tanpa melihat data. Ia berharap para tokoh politik sadar jika masyarakat negara Indonesia adalah kelompok yang cerdas dan aspirasi mereka wajib menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan negara.
Para Buruh Menolak
Sampai saat ini sudah jelas bagaimana sikap Partai Buruh dan serikat buruh lainnya mengenai gagasan fenomenal tersebut. Para buruh, secara singkat, menolak adanya ide untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Mereka sadar jika ide itu bertentangan dengan apa yang konstitusi bunyikan—bahwa masa jabatan presiden hanyalah lima (5) tahun saja dengan maksimal dua (2) periode. Mereka juga tahu jika gagasan tersebut diberi akses, maka kemungkinan penguasaan power tanpa batas dalam politik juga akan mengikuti. Mau tak mau, menurut Said, jika hal itu sampai terjadi maka kita sebagai rakyat harus bersatu untuk membangun people power. Supaya penyalahgunaan kekuasaan politik masih dapat kita tangani dan hentikan.
Baca juga:
Penghilangan Nilai Manusia Lewat Perbudakan