Dunia fesyen busana muslim memang berkembang. Tapi di balinya terdapat eksploitasi buruh perempuan.
Membicarakan dunia fesyen memang selalu menarik. Jika kita perhatikan hampir setiap hari, dunia fesyen ini mengalami perkembangan baik. Mulai dari segi produk, kualitas, model, dan desainer. Menariknya dunia fesyen, kini telah merambah hingga ke industri mode Muslim. Di Indonesia sendiri, sejak 2009 mantan presiden Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sudah mengaungkan untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam bidang Busana Muslim ini. Acara-acara untuk peragaan juga rutin diadakan seperti, Indonesia Islamic Fashion Consortium (IIFC), Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), lalu ada juga, Indonesian Islamic Fashion Fair.
Dukungan pemerintah dalam industri Busana Muslim ini tentu membuat sang industri mendulang kesuksesan. Bagaimana tidak? Industri Busana Muslim di Indonesia saat ini sudah mencapai nilai US$ 12,69 triliun. Jika kita konversi ke rupiah maka menjadi Rp182.780 triliun. Sebuah angka yang sangat fantastis bukan? Namun ternyata, tidak hanya pemerintah saja yang campur tangan dalam kesuksesan industri Busana Muslim ini. Ada siapa saja mereka?
Di Balik Layar
Ujung tombak industri Busana Muslim ini adalah seorang perempuan. Perempuan kini memegang hampir 20% bisnis kreatif ini. Mereka adalah perempuan-perempuan Muslim pengusaha muda. Nama-nama yang mencuat seperti Dian Pelangi dan Ria Miranda. Kehebatan mereka, mewakili para perempuan khususnya yang berkiprah di bidang industri busana Muslim. Kesuksesannya pun sudah terbang hingga ke negara Eropa. Ini seharusnya bisa menjadi inspirasi bagi perempuan lain, bukan?
Sayangnya, di balik layar kesuksesan ini, kita perlu menilik lebih jauh lagi. Tidak hanya dukungan pemerintah, tapi juga ada tangan-tangan yang bekerja di pabrik untuk menghasilkan busana yang siap melenggang ke luar negeri. Tapi, kita sering luput memperhatikan nasib dan kualitas para pekerja, yang lebih mencengangkan lagi pekerja pabrik industri Busana Muslim ini separuhnya adalah perempuan. Mereka perempuan yang sebagian besar tinggal di daerah rural, cenderung memiliki pekerjaan sebagai buruh pabrik. Hal ini cukup ironi, dimana ketimpangan yang terjadi antara pemilik usaha dan pekerja (buruh jahit dan konveksi). Apalagi jika kita lihat bahwa mereka sama-sama perempuan, di mana letak women support women yang sering kali kita gaungkan? Kenapa justru terjadi eksploitasi buruh perempuan?
Kesejahteraan Buruh yang Perlu di Perhatikan
Melansir dari theconversation.com, para perempuan yang bekerja sebagai buruh jahit di industri Busana Muslim ini dibayar jauh dari angka rata-rata, yaitu Rp500.00/bulan, padahal jumlah angka buruh lepas seharusnya mencapai hampir Rp1,4jt/bulan. Kesejahteraan ini perlu jadi perhatian, mengingat buruh perempuan juga menjadi bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang nantinya turut sumbang sih bagi negara pada tahun 2030. Maka perlu kolaborasi tidak hanya dari pemerintah dan pemilik bisnis, tapi juga kesejahteraan buruh perempuan agar nantinya Indonesia bisa menjadi pusat Mode Muslim dalam pengembangan bisnis fesyen. Tak lupa juga, untuk memperhatikan nilai-nilai Islam yang menjadi tolok ukur dalam industry ini di mana buruh diperlakukan sebagai mitra kerja yang sejajar dan perlu menjadi prioritas mereka. Jadi nantinya, industri Busana Muslim bisa menjadi pusat dalam dunia fesyen di Indonesia dengan tak lupa memperhatikan pekerjannya. Kan semua jadi senang.
Foto oleh Fety Puja Amelia dari Pexels
Baca juga:
Kenapa Perempuan Terus Yang Disuruh Berhati-hati?
Hari Perempuan Internasional: Semua Perempuan Berharga