Dalam perjalanan menuju suatu tempat kita pasti melewati track atau jalanan yang lurus dan berkelok. Biasanya tempat-tempat yang memiliki banyak tikungan adalah jalan-jalan yang menuju ke dataran tinggi. Bukan tanpa alasan, jalanan berkelok di dataran tinggi memudahkan kendaraan kita dalam menanjak. Sedangkan jalanan lurus sendiri sering muncul di dataran rendah yang bisa bikin kita gaspol dan sampai di tempat tujuan dengan lebih cepat. Keduanya sama enaknya sama juga menyebalkannya. Tapi saya sendiri pernah mengalami hubungan benci-cinta dengan track lurus ketika menuju ke Kebumen.
Track Lurus Menjemukan
Jalanan lurus adalah jalanan yang cukup menjemukan. Bahkan bisa membuat saya merasa sangat kelelahan. Bayangkan saja, saat itu saya dalam perjalanan ke Kebumen dari Jogja saya harus melewati jalanan lurus sepanjang 60 km lebih! Saya sempat merasa jenuh karena tidak ada tikungan bahkan tidak ada traffic light sama sekali. Entah berapa kali, saya melihat ke speedometer motor saya yang menunjukkan angka 70 km/jam. Terkadang mencapai angka 80. Kiri-kanan jalan ini sebenarnya cukup menarik. Berlembar-lembar petak sawah dan pohon apel yang berbaris rapi menemani saya di sana. Tapi tetaplah, namanya sesuatu yang terlalu lurus sangat menjemukkan.
Hemat Bensin
Namun ada sisi lain yang saya syukuri dari track lurus. Track lurus bikin saya hemat bensin. Alasannya sederhana, karena saya tidak perlu sering-sering merubah tarikan gas. Dalam otomotif sederhana di otak saya, semakin saya bermain tarikan gas, maka bensinnya makin boros. Di perjalanan ini, tanki bensin saya yang terisi penuh baru akan habis ketika perjalanan pulang. Cukup lumayan dengan jarak yang melebihi 100 km. Sungguh hemat buat mahasiswa kantong kering seperti saya.
Sayangnya…
Nah, namanya hubungan benci-cinta pasti nggak afdol kalau saya tutup pakai bagaimana cintanya saya dengan jalanan lurus. Lebih realistis dengan rasa bencinya lagi. Jalanan lurus memiliki hal yang tidak enak ketika menggunakan sepeda motor. Percayalah hubungan bagian bawah badan kita dengan jok motor menjadi terlalu dekat. Bahkan seperti menghadapi pasangan posesif, bagian belakang saya yang menyentuh jok serasa ingin berpisah. “Lepaskann!” mungkin katanya. “Aku nggak mau berhubungan sama jok lagi!” lanjutnya. Sayangnya pun kalau ingin memisahkan mereka, hanya sejenak. Mau duduk di mana menjadi pertanyaan yang susah buat saya jawab. Rest area hanya ada di restoran. Rehat untuk fisik saya, tidak untuk dompet saya.
Tapi Bikin Saya Merenung
Sebenarnya, hubungan benci-cinta saya sama jalanan lurus sempat bikin saya merenung. Bukan merenung di tempat, tapi ketika rekaman podcast Katanya Podcast. Saya bercerita bagaimana jalanan lurus bikin saya merasa bosan, seperti yang saya ceritakan di atas. Kaya jalan, hidup yang terlalu lempeng atau lurus memang seakan membosankan. Tapi terkadang hidup yang lurus bisa jadi harus kita lalui buat mencapai target yang sudah kita bentuk. Kalau kita melihat belokan memang rasanya hidup jadi lebih berwarna, nakal-nakal dikit tapi bisa aja malah bikin masuk jalur lain. Nah loh!
Menghadapi jalur lurus juga harus siap kendaraannya. Mana yang bikin nyaman. Apakah mobil atau motor? Makin nyaman kendaraan kita makin enak juga buat jalannya. Kalaupun kita pada akhirnya salah memilih kendaraan, ya mau nggak mau kita menikmatinya. Terutama kalau sudah tidak ada kemungkinan untuk berganti kendaraan. Daripada berhenti kemudian tidak sampai tujuan, mending terus jalan aja sampai tujuan kita tercapai bukan?
Nah itulah apa yang saya peroleh dari hubungan benci-cinta saya dengan track lurus. Agak aneh ya, tapi begitulah.
Baca juga:
Memaknai Hidup Lewat Filosofi Jalan Raya
Belajar Itu Bagaikan Jalan-jalan