Waktu Baca: 3 menit

Tahun ini bulan Ramadhan bebarengan dengan masa Paskah (Tri Hari Suci). Entah kenapa ya, bagi saya pribadi bulan Ramadhan itu seperti memiliki vibes-nya tersendiri. Terlebih saat ini juga bersamaan dengan perayaan Paskah, yang tentunya juga membawa pesan dan kesan tersendiri bagi umat Kristiani.

Momen seperti ini bisa saling kita gunakan untuk merayakan dan mengamini iman kepercayaan masing-masing. Lebih-lebih jika momen ini bisa digunakan untuk saling menghargai adanya keberagaman atau simplenya sih toleransi. Saya tinggal di lingkungan yang heterogen dari kecil, baik dari keluarga maupun lingkungan masyarakat. Saya tumbuh dari keluarga, di mana memiliki kakak-kakak yang berbeda agama. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat. Rumah saya ini fifty-fifty antara agama Muslim dan Kristiani. Meski begitu, baik dari keluarga maupun lingkungan secara sadar tidak sadar, saya juga menjadi belajar bagaimana caranya bergaul dan menghargai perbedaan yang ada ini.

So, toleransi itu sebenarnya menyenangkan dan bisa membuat lingkungan menjadi adem ayem, kan? Coba perhatikan, kalian udah sering banget denger perdebatan tentang agama yang gak ada ujungnya malah bikin mumet sendiri. Meski toleransi itu terkadang masih memiliki perspective yang berbeda di setiap individunya. Kalau kata Habib Husein Jafar di Daniel Tetangga Kamu, toleransi itu bisa memiliki batas-batas yang paling penting landasanya tetap cinta dan menghargai serta tidak mengujar kebencian.

Well, dalam tulisan kali ini aku mau membagikan beberapa pengalaman toleransi sederhana yang terjadi di lingkunganku selama bulan Ramadhan dan Paskah ini.

Pengalaman Toleransi Sederhana

Saya memiliki beberapa, yang menurut saya ini hanya pengalaman sederhana tapi cukup mengesankan. Pertama, selepas pulang dari gereja sendirian, saya bertemu tetangga di depan gang. Lalu kami bertegur sapa, dan menanyakan dari mana? Saya menjawab dari gereja dan dia menjawab pulang teraweh. Ini contoh sederhana di mana kami bisa hidup berdampingan dengan tetangga dengan baik, terlepas dari apa agamanya, bukan? Masih soal tetangga, ketika sedang menikmati segelas teh di teras, tiba-tiba ada tetangga yang memberikan takjil, padahal dia tahu bahwa saya tidak puasa. Dalam hal ini, saya melihat bahwa dia memang murni membagikan buat siapa saja lagi-lagi terlepas dari apa agamanya. Kan jadi lumayan, selama bulan Ramadhan jadi dapet takjil. Hehe

Kedua, datang dari keluarga. Saya dan kakak yang berbeda agama secara tak sadar juga menerapkan toleransi meski hal-hal sepele. Seperti, saya mengijinkan kakak saya meminjam kamar untuk sholat, memberitahu masakan yang bila mana mengandung daging non-halal. Mereka juga menghargai bila saya dan orang tua sedang melaksanakan ibadah ke gereja. Kami sekeluarga juga pernah bertukar nilai-nilai mengenai ajaran agama yang kami percayai, meski setiap dari kami pasti tetap membawa kesannya tersendiri. Ini juga terjadi di keluarga besar, yang lebih heterogen di mana kami berusaha menghargai perbedaan yang ada setiap ada acara keluarga seperti, lebaran.

Pengalaman ketiga, ini sebenarnya pengalaman cukup random. Terjadi dengan teman saya yang dari luar kota, menanyakan tentang paskah. Lalu, saya berusaha menjelaskan (secara general) dan dia merasa wawasannya soal agama lain bertambah alih-alih menjadi debat. Lalu cerita lain, tukang pijet langganan Ibu ketika sedang datang, di setiap jam-jam sholat juga meminta ijin untuk sholat di kamar saya. Kami sekeluarga mengijinkan dan dia juga tidak masalah sholat di rumah seorang Kristiani yang identik punya gambar Yesus di rumahnya.

Maanfaat Toleransi

Dari pengalaman sederhana seperti yang pernah saya alami, saya jadi membayangkan kalau bisa dirawat setiap hari dan meluas dalam ranah yang lebih besar pasti kita akan hidup adem ayem ya hihi… Karena toleransi antar umat beragama, memiliki manfaat untuk mempererat tali persaudaraan, menghindari konflik, menciptakan lingkungan yang lebih tentram, dan bisa juga belajar dari nilai-nilai kehidupan yang diajarkan. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil untuk bertoleransi, daripada sibuk debat agama apalagi di media sosial yang bikin tambah pusing.

Foto oleh Mikhail Nilov dari Pexels

Baca juga:

Pondok Pesantren Waria dan Sebutir Harapan Akan Toleransi

Paul Zhang di Dunia Maya: Obsesi Identitas, Tindak Tutur, dan Picuan Intoleransi di Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini