Secara umum, tugas jurnalis adalah menjadi pihak netral yang menyampaikan informasi dari sudut pandang se-netral mungkin. Jurnalis sangat dibutuhkan karena membantu masyarakat umum mengetahui fenomena yang terjadi secara utuh. Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis mendapat perlindungan meski sedang bertugas di medan yang berbahaya seperti daerah konflik atau perang misalnya. Hal ini adalah hukum kebiasaan internasional serta sudah termuat juga di konvensi Jenewa keempat dan sudah disebutkan juga secara implisit di konvensi Jenewa ketiga. Namun, kematian Shireen Abu Akleh di Jenin telah membuktikan sekali lagi bahwa hukum perang tentang pers ini diabaikan. Sebetulnya kita tidak perlu kaget, bahkan di Indonesia sendiri pernah terjadi kasus serupa dan tidak mendapat pengusutan yang pantas. Setidaknya ada dua kejadian yang bisa kita kategorikan pelanggaran hak pers di hukum perang di Indonesia.
Balibo Five
Kasus yang terkenal di Indonesia adalah kematian lima jurnalis Australia di Balibo, Timor Leste. Saat itu mereka sedang meliput konflik di sana dan menurut laporan menjadi korban kontak senjata. Pemerintah Australia menginginkan adanya investigasi menyeluruh namun Indonesia selalu menolak. Karena itulah, kecurigaan bahwa Balibo Five (nama kelima korban itu) menjadi korban dari angkatan bersenjata kita waktu itu menguat. Sampai saat ini pemerintah Indonesia tak juga mengusahakan pengusutan kasus ini dan membuat bola panas Balibo Five tetap ada.
Ersa Siregar
Kejadian lain adalah kematian Ersa Siregar di Aceh. Ersa merupakan wartawan RCTI yang tewas ketika terjadi konflik bersenjata di Aceh. Tubuhnya terkena terjangan peluru tak bertuan. Kita sebut peluru tak bertuan karena baik TNI maupun GAM saling klaim bahwa penembak bukan dari pihak mereka.
Kasus Luar Negeri
Contoh kasus pelanggaran hak pers di luar negeri pernah dilakukan oleh pihak ISIS. Saat meliput perang Suriah-Irak melawan ISIS, ada beberapa wartawan yang terbunuh oleh aksi ISIS. Beberapa nama di antaranya adalah Fares Hamadi, Ibrahim Abd Al-Qader, dan Steven Sotloff. ISIS bisa kita sebut sebagai teroris terburuk dalam hal masalah pelanggaran hak pers ini. Sebab, mereka memang sengaja menculik anggota pers dan menggunakan pers sebagai alat untuk menekan musuh musuhnya. Kejahatan yang bahkan tidak Al Qaeda lakukan.
Mengapa Pelanggaran Hukum Pers Terus Terjadi?
Pelanggaran pada kebebasan pers terus terjadi karena tidak ada sanksi kuat dalam hukum ini. Meski demikian, beberapa negara yang meratifikasi hukum perlindungan pers ini bersedia menghukum pelakunya seperti yang terjadi pada pembunuh jurnalis Daniel Pearl. Akan tetapi, sejauh ini yang terhukum adalah pihak eksternal dalam perang sipil, bukan pelaku dari internal.
Contoh mudahnya adalah pembunuhan Balibo Five yang tidak mendapat investigasi layak. Padahal jika kasus ini mendapat perhatian , maka akan menjadi contoh baik dari pemerintah Indonesia dalam menegakkan kasus pelanggaran kebebasan pers di medan perang
Bagaimana dengan kasus yang dialami Shireen yang tewas di kamp pengungsian Jenin? Saat itu menurut kesaksian tak ada angkatan bersenjata Palestina di sana dan serangan tentara Israel tidak memiliki legitimasi. Bisa saja Israel menggunakan waktu dan berharap orang akan melupakan kasus ini. Namun sesungguhnya, tindakan Israel ini hanya membuat simpati dan tekanan internasional menguat dan menyulitkan pemerintahan Israel dan sekutunya sendiri.
Peluang Pengusutan Kasus Shireen
Secara hukum, janji pengusutan kasus yang terlontar dari PM Israel Naftali Bennett tampaknya tidak akan terjadi secara progresif. Ada keyakinan bahwa ini semua hanya lip service. Namun, implikasi secara politik sangat besar.
Setidaknya, kepercayaan banyak negara pada Israel semakin tergerus. Tidak hanya itu saja, sekutu dekat Israel, Amerika Serikat juga makin kehilangan legitimasi de facto sebagai pemimpin dunia. Apalagi Rusia dan Tiongkok makin menguatkan penegasan mereka sebagai kekuatan ekonomi dan militer baru dunia.
Kasus Shireen kemungkinan besar akan terlupakan tapi dampaknya akan terakumlasi dengan kasus kasus serupa lain
Baca juga :
Pelajaran dari Lay Off Beritasatu
Indonesia Mungkin Netral, Tapi Warganetnya
Tanya tanya sama Pak Guru yok di sini