Waktu Baca: 4 menit

Baru baru ini beredar gambar Presiden Kelima Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, melukis di tepi pantai. Ia tampak menikmati masa pensiunnya. Ya, setelah resmi tidak mencalonkan diri lagi menjadi ketua umum Partai Demokrat dan digantikan anak pertamanya, ia lebih banyak menghilang dari keramaian. Sempat ia menjadi headlines ketika menjelaskan bahwa dirinya terkena kanker prostat, namun kini ia sudah sembuh. Setelah sembuh, SBY kembali ke dalam kesepiannya. SBY sekarang memang berbeda daripada dirinya di masa lalu. Ia bukan lagi raksasa politik seperti saat SBY berjaya memenangi Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Kini ia menjadi pandhita yang lebih banyak diam dan hanya akan bersuara dan memberikan pendapatnya saat diminta. Badan gagahnya yang telah menua menjadi bayangan yang sulit untuk dilewati banyak orang. Nah, tak ada salahnya kita membicarakan hal hal positif dari dirinya ketika ia berjaya di 2004.

Sosok dan Pragmatisme Politik Sangat Penting

SBY berjaya

Ketika keluar dari kabinet Gotong Royong, SBY sudah menjadi kandidat kuat untuk maju Pilpres 2004. Namun dia bukan orang partai. Karena itulah muncul pertanyaan, bagaimana caranya ia maju dalam kontestasi politik?

Ternyata ia memilih masuk ke dalam partai kecil bernama Partai Demokrat. Pilihannya saat itu mengherankan, namun ia realistis. Semua partai menengah-besar sudah memiliki jagoannya masing masing. Golkar sudah menjadi ajang perebutan posisi capres antara Wiranto dan Prabowo serta Akbar Tandjung. Sementara itu, PAN sudah ngotot mengusung Amien Rais. PDIP apalagi. Akhirnya, daripada capek di internal, SBY memilih ya sudah ikut partai kecil.

Banyak yang meremehkan SBY. Dengan presidential threshold yang kecilpun SBY gagal maju sendirian. Akhirnya ia membentuk koalisi partai menengah kecil, yang penting bisa masuk kontestasi dulu. Toh SBY memiliki modal kuat yaitu cawapres bernama Jusuf Kalla yang juga tokoh Golkar.

Hasilnya?

Hasilnya, mesin kecil ini ternyata bisa mengalahkan koalisi raksasa milik Megawati yang sebenarnya cukup lengkap dan merangkul hampir semua kalangan mulai dari nasionalis, religius, minoritas dan seterusnya.

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah demikian, meski mesin partainya bagus namun kalau sosoknya kurang mumpuni. Tetap saja akan kalah di Pemilu. Sebaliknya jika tokohnya sudah bagus, meski mesin partainya belum baguspun masih sangat mungkin memenangkan pemilu. Kasus ini lalu terulang di 2014 ketika Jokowi memenangkan kontestasi melawan koalisi Prabowo yang sebenarnya juga termasuk ‘komplit’.

Lalu, pelajaran yang kedua adalah: jangan terlalu pilih pilih mesin politik kita. Saat itu SBY memilih begini, daripada memikirkan harus maju lewat mana yang paling baik, ia meyakini bahwa sosoknya sudah cukup baik. Iapun naik via parpol yang mungkin bagi banyak orang terlalu kecil untuk dia. Tapi tak dinyana, kepragmatisan dia membuahkan hasil. Inilah yang terpenting.

Sebab, pada 2019, banyak calon akhirnya gagal maju karena terlalu sibuk bertanya mau naik dari partai mana. Inilah yang akhirnya membuat mimpi jadi capres hanya sekedar berpotensi di survey tapi tak menghasilkan apa apa.

 Pemilihan Wapres Penting

Banyak yang menganggap bahwa wakil presiden itu sekedar pelengkap. Tidak penting penting amat, bahkan kalau bisa dipilih yang ‘tidak berbahaya’ dan tak perlulah memiliki elektabilitas tinggi. Ada ketakutan nanti malah berkonflik dengan Capresnya. Namun pada 2004, SBY memainkan pemilihan calon wakil presiden dengan cukup riskan. Ia memilih sosok yang kuat yaitu Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai menko Kesra. Ketika itu, JKpun sebenarnya bisa saja maju sendiri menjadi Capres. SBY malah mengambil resiko berduet dengan pasangan yang ‘cukup berbahaya’ untuk campaignnya.

Pemilihan JK ini dianggap bisa melawan pengaruh SBY. Namun di sisi lain JK memiliki banyak poin plus. JK adalah tokoh Golkar berpengaruh. KeIslamannyapun kuat dan ia juga mewakili Indonesia Timur. Terbukti, kemampuan JK ‘memecah suara’ di Golkar sangat berguna untuk kemenangan SBY.

Di sinilah SBY tampak piawai mengatur dan memposisikan dirinya dengan JK. Kekompakan mereka di 2024 benar benar membantu SBY berjaya. Saat itu Capres lain memiliki pasangan yang lebih aman dan pasif, namun tak bisa mendongkrak suara. Tercatat hanya Agum Gumelar cawapres yang punya nilai elektabilitas tinggi, namun memang nama Hamzah Haz saat itu terlalu sulit bersaing.

Pelajaran apa yang bisa kita petik? Kadang kita harus berani keluar dari pakem aman dan mencoba play card beresiko saat menjadi sosok underdog. Meski ada resiko kehancuran, tapi bisa jadi kita malah memenangkan pertarungan.

Diam (Dan Santun) Adalah Emas

Salah satu senjata (dan mungkin kelemahan) SBY adalah sikap santunnya. SBY jarang melakukan serangan frontal ke lawan politiknya. Ia lebih memilih menanggapi dengan tenang dan terukur. Hal ini mencerminkan dirinya yang sering disebut sebut sebagai jendral cendekiawan.

Berbeda dengan lawan politiknya yang sering menyerang dengan kata kata pedas dan tajam. SBY memilih tak menanggapi ketika ia diserang Taufik Kiemas dan disebut sebagai jendral cengeng misalnya. SBY memilih tak menggunakan kata pasif dan retorika. Ia lebih banyak pasif sembari membagi pikirannya.

Cara komunikasi SBY ini ternyata berpengaruh pada karakter Indonesia yang lebih bersimpati pada orang santun. Kesantunan ini mungkin terasa remeh. Tapi ingat, sosok sekuat Basuki Tjahaja Purnama saja jatuh karena sikap tidak santunnya.

Oleh karena itu, pemilihan sikap SBY untuk santun ini bisa kita ambil sebagai pelajaran keempat yang penting dalam perjalanan SBY berjaya di 2004.

Walau memang kemudian, saat menjalankan pemerintahan, SBY sering mendapat kritik karena sikapnya yang terlalu santun dan tidak tegas dalam berbagai isu di Indonesia. Tapi itu cerita lainnya.

 Timing Adalah Segalanya

Bisa kita bilang, SBY mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik. Ia memilih waktu tepat untuk keluar dari kabinet Gotong Royong. Ia juga memilih waktu yang tepat untuk bergabung dengan Partai Demokrat dan ia juga memilih waktu yang tepat untuk mengumumkan siapa wakilnya. Beberapa bahkan mengklaim kalau SBY sudah merencanakan 2004 setelah ia kalah dalam pemilihan wapres kabinet Gotong Royong. Saat itu SBY yang mengaku menjadi favorit rakyat harus kalah dari Hamzah Haz dan Agum Gumelar. Jika benar demikian, berarti SBY memang bapak dari planning yang matang dan guru politik Indonesia.

Akhir kata, keberhasilan SBY ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang ingin maju di 2024. Jadi, siapa nantinya yang akan mengikuti jejak langkah SBY berjaya di 2024?

 Baca juga :
Ada Apa Dengan PSI? Mau Kemana?

Partai Dinasti Berpotensi Remuk di 2024

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini