Hari ini kita akan membahas isu yang agak ngeri ngeri sedap. Selama ini banyak kalangan menganggap Anies Baswedan menunggangi gerakan 212. Nah, kita akan coba menganalisa apakah pendapat ini valid atau tidak. Tentu, salah satu cara saya untuk membuktikannya adalah dengan analisa kronologis. Kronologis apa? Tentu saja kronologis bagaimana hingga Anies identik dengan gerakan 212. Dari analisa kronologis ini, saya berharap bahwa nantinya perdebatan apakah Anies menunggangi gerakan 212 bisa setidaknya sedikit terselesaikan.
Pertama tama, saya mengajukan dulu argumen saya. Menurut saya, sejak awal Anies Baswedan tidak menunggangi gerakan 212. Bagi saya, eratnya kaitan Anies Baswedan dengan gerakan 212 hanyalah sebuah kecelakaan sejarah. Anies tidak pernah terang terangan mendukung gerakan 212. Pun, Anies tidak pernah dikenal sebagai tokoh Islami sejak sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebaliknya, jauh sebelum menjadi simbol gerakan konservatif, Anies lebih dikenal sebagai tokoh yang menjunjung tinggi liberalisme. Meskipun lagi lagi, pandangan itu debatable karena Anies juga tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai seorang liberal. Namun, setidaknya itulah kesan yang ditangkap beberapa kalangan sebelum Anies lekat dengan imej tokoh religius dan konservatif.
Maju Dadakan
Nama Anies bahkan tidak pernah masuk bursa Gubernur DKI bahkan hingga ia ‘dipecat’ sebagai menteri pendidikan. Baru H-1 Pilgub DKI Jakarta tiba tiba nama Anies muncul untuk menggeser nama Mardani Ali Sera sebagai paket cagub dan cawagub bersama dengan Sandiaga Uno.
Sebenarnya, saat itupun nama Anies ‘tenggelam’ karena di saat bersamaan Partai Demokrat dan koalisi raksasanya mendadak mengusung nama yang jauh di luar perkiraan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kedatangan AHY praktis membuat persaingan berkisar di antara Gubernur Petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan AHY yang berstatus putra mahkota Partai Demokrat. Anies dan Sandi seolah akan berakhir sebagai penggembira.
Ketika itupun, meski diusung partai yang citranya sangat Islam, PKS, Anies tidak terus memainkan kartu agama. Dalam berbagai kampanyenya, Anies tidak pernah menyinggung agama maupun ras Ahok sebagai saingan utamanya. Ia lebih menyorot sikap Ahok yang tidak ‘memihak’ kepada kalangan kecil menengah. Sikap yang Ahok kritik karena bagi Ahok keadilan adalah untuk semua orang, kaya maupun miskin.
Bahkan setelah kejadian itu, Anies tetap tidak pernah memainkan kartu agama maupun serangan pada kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok. Lalu kenapa Anies tiba tiba menjadi lekat dengan imej gerakan 212?
Kekalahan AHY
Sebenarnya, imej simbol gerakan 212 lekat dengan AHY pada awalnya. Namun kekalahan AHY karena ketidakmampuannya melakukan orasi politik (waktu itu) serta mencuatnya kasus Antasari Azhar di detik terakhir menjadikan Anies sebagai tokoh alternatif. Istilahnya, Anies diajukan karena jagoan utama sudah kalah. Eh ndilalah Anies berhasil menang meskipun kesannya dia menang karena banyak yang enggan memilih Ahok.
Lagi lagi ketika terpilihpun Anies juga tidak membangun imej Islami, ia berusaha lebih ke arah membangun citra sebagai tokoh wong cilik dengan program DP 0 Persen, Oke Oce dan seterusnya. Selama memimpin, terlepas dari fakta bahwa ia melakukan kebijakan kebijakan yang tidak tepat, Anies tidak pernah mengusulkan atau bahkan menelurkan satu instruksi gubernurpun yang dapat kita kategorikan sebagai Perda Syariah. Ia juga tidak pernah menjauhkan diri dari kelompok agama lain.
Jika banyak yang menuduh dia menjadi gubernur karena kebetulan akibat jatuhnya nama Ahok. Saya kira itu tepat. Tapi kalau ada yang menuduh ia sengaja dari awal mau memainkan isu ras dan agama, saya tidak setuju.
Merapat Ke Nasdem
Sekarang saja ketika namanya mulai masuk bursapun ia memilih mendekat ke Nasdem alih alih ke partai Islam misalnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya prioritasnya menjadi pemimpin untuk semua, bukan sekedar kalangan Muslim saja, apalagi kalangan Muslim konservatif.
Selain itu, terlepas dari imejnya, ia tidak pernah membanggakan pencapaiannya di bidang religius, ia lebih suka fokus pada pembangunan infrastruktur dan kebudayaan yang telah ia capai. Salah satu bentuk pembangunan kebudayaan yang ia capai dapat kita lihat adalah merubah nama nama jalan di Jakarta dengan nama tokoh Betawi.
Dari kebijakan kebijakannya tercermin bahwa Anies sejatinya tidak pernah mengkonstruksikan dirinya sebagai perwakilan pemimpin yang Islami.
Kesimpulan
Dari indikator indikator, catatan sejarah, tampaknya menganggap bahwa Anies secara sengaja menunggangi gerakan 212 adalah sebuah argumen yang tidak tepat.
Anies Baswedan mendapat keuntungan karena gerakan 212 itu benar. Tapi ia sengaja memanfaatkan gerakan 212 rasa rasanya tidak tepat. Anies hanya beruntung karena Ahok melakukan kesalahan fatal dalam berbicara. Anies juga hanya beruntung karena sosok yang digadang gadang menjadi sosok pemimpin kelompok religius dan konservatif yaitu AHY malah gagal memanfaatkan keunggulannya di Pilkada DKI 2017. Justru sebaliknya, Anies berusaha mencitrakan dirinya sebagai pemimpin wong cilik dan merangkul semua kalangan. Program programnya pun lebih lekat ke kebudayaan dan modernisme ketimbang bersinggung dengan hal hal religius. Setidaknya, sampai hari ini, tidak ada instruksi gubernur berkategori perda Syariah di masanya.
Pun misalnya jika kita anggap gerakan 212 sengaja mengorbitkan Anies. Permasalahannya tokoh tokoh yang terlibat dalam 212 juga sudah terpecah belah. Bahkan salah satu tokohnya berada di kursi nomor dua pemerintahan. Lalu mengapa Anies melekat dengan imej gerakan 212? Pandangan saya, para oposan pemerintahan Jokowi tidak punya pemimpin yang layak untuk diorbitkan. Karena itulah, meski tidak ideal, mereka memilih Anies sebagai simbol mereka.
Anies tidak mungkin menolak. Memangnya ada politisi yang mau menolak suara?
Baca juga :
Janji Janji Anies Memang Manies, Tapi Gak Jelas
Anies Mantu Menaikkan Elektabilitas?
Tonton juga :
Petualangan Jurnalis Mengungkap Korupsi