Mongol Stres mengagetkan dunia politik dengan maju sebagai bakal caleg di pemilu mendatang. Keputusan komika asal Sulawesi Utara ini sudah pasti mendapat banyak respon dari netizen-netizen nan budiman. Nggak sedikit yang mempertanyakan keputusan Mongol baik itu karena dia maju sebagai bacaleg dengan latar belakang komediannya sampai kenapa dia memilih PSI sebagai kendaraannya.
Jika kita melihat yang Mongol lakukan sebenarnya tepatkah seorang komedian akhirnya malah terjun ke dunia politik? Atau emang sebaiknya mereka melawak dan bikin orang ketawa saja?
Mongol Gabung PSI Buat Apa?
Keputusan Mongol Stres bergabung dengan PSI masih menimpulkan tanda tanya, meskipun saya sendiri tidak merasakan hal ini. Banyak yang mengatakan bahwa komika yang satu ini salah kendaraan. Namun, berdasarkan apa yang Bang Mongol utarakan, doi merasa bahwa semangat yang PSI miliki sejalan sama doi. Mongol layaknya seperti PSI, ingin memperjuangkan penghapusan korupsi dan melakukan transparansi uang rakyat. Cukup klise sebetulnya.
Tapi, yang saya lihat sendiri alasan Mongol memilih PSI mungkin hanya satu. Mongol pengen sebuah kebebasan dalam bermanuver, layaknya Giring yang manuvernya “luar biasa” bebas (sepertinya). PSI di mata saya tidak sesaklek partai-partai yang lain, partai-partai yang penghuninya kebanyakan berasal dari generasi di atas Mongol jauh. PSI yang memiliki “orang-orang muda” di tubuhnya bisa saja lebih menjanjikan kebebasan buat Mongol. Baik itu dalam model berkampanye atau cara tutur Mongol. Terutama kalau saya lihat terkadang mulut Mongol ini tak jarang serampangan. Dia bahkan pernah disidang oleh dewan gereja karena hal ini. Jika Mongol gabung partai yang berisikan usia-usia lanjut, bukan tidak mungkin Mongol bakalan lebih “terkekang”.
Komedian dan Politik Sudah Berdampingan Sejak Lama
Kalau kita melakukan protes terhadap panggung komedi karena sering beriringan dengan politik sama sekali nggak tepat. Nyatanya, komedi dan politik adalah 2 insan yang tak akan pernah bisa kita pisahkan setidaknya jika kita melihat sejarahnya.
Komedi muncul pertama kali di era Yunani kuno dahulu. Pada zaman itu, komedi sudah lekat dengan dunia politik. Bukan karena pemimpin di sana berasal dari komedian, tapi kritik yang rakyat sampaikan tak jarang melalui sebuah komedi. Masyarakat pada zaman Yunani kuno saat itu menyampaikan kritiknya lewat satir-satir komedi. Komedi ini pada akhirnya terus berkembang hingga menjadi komedi yang kita nikmati sekarang. Seperti para pendahulunya, komedi era sekarang juga terus berdampingan dengan dunia politik.
Komedi Perlu Sebuah Kecerdasan
Komedi acap kali sering kita pandang sebelah mata. Padahal kalau kita mau berkomedi, komedi adalah hal yang sangat kompleks untuk kita lakukan. Komedi bukan sekedar membuat orang tertawa, berbeda dengan jika kita tertawa karena melihat sebuah perundungan yang seseorang alami. Pada kenyataannya komedi memerlukan sebuah kecerdasan dalam pembuatannya.
Dalam membuat komedi setidaknya kita harus memiliki sudut pandang yang berbeda dari orang yang lain. Hal ini sukar sekali buat kita lakuin. Contohnya seperti yang Mashel Widianto lakukan. Ketika ayahnya meninggal Marshel bisa melihat dari sisi lain dan membuatnya sebagai sebuah komedi ketika tampil di YouTube Raditya Dika. Begitu pula dengan Mongol Stres yang tak jarang melihat cara umat beragama dengan sudut pandang lain. Mulai dari cara berdoa hingga bagaimana umat dan pemuka agama yang dianutnya bertingkah laku.
Studi yang dilakukan Ulrike Willinger dari Medical University of Vienna pun juga menunjukkan korelasi antar kecerdasan dan komedi. Studi ini mengatakan bahwa orang yang berkomedi memiliki IQ yang lebih baik daripada rata-rata orang. Selain itu komedi juga menunjukkan seseorang memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik. Maka dari itu tidak sedikit kita lihat seorang komika adalah seseorang yang cerdas. Contohnya seperti Pandji, Ernest, Marshel Widianto hingga Trevor Noah, komika asal Afrika Selatan yang tak jarang komedinya membuat kita berpikir ulang tentang dunia politik.
Mongol dan Kampanye Berbumbu Komedi
Memiliki latar belakang komedian jelas akan membuat Mongol Stres memiliki cara lain dalam berkampanye. Bukan sebuah kemustahilan jika Mongol akan berkampanye dengan cara berkomedi, terutama dengan stand-up comedy. Apakah ini akan menjadi kampanye yang aneh dan tidak efisien? Bisa aja nggak juga lho. Banyak studi yang mengatakan bahwa penyampaian pesan lewat komedi bisa jadi lebih efisien dan mengena di masyarakat. Hal ini sudah Pandji Pragiwaksono buktikan dengan komedinya yang benar-benar mempengaruhi pendengarnya. Mongol Stres juga bisa berbuat demikian.
Tapi, meskipun komedi bisa efisien dalam menyampaikan pesan, bukan berarti Mongol akan 100% sukses. Komedi memiliki sebuah batasan. Pertama, siapa yang berbicara dan kedua siapa audiensnya. Jika saja Mongol tidak bisa menjangkau audiens luas dengan komedinya bisa saja kampanyenya tidak meluas. Kampanye Mongol akan muter di situ-situ saja. Tentu saja kondisi ini jadi PR buat Mongol yang merupakan seorang komika dengan bayaran tertinggi. Jika Mongol sukses merayu masyarakat dengan komedinya, bukan tak mungkin doi akan benar-benar masuk ke jajaran legislatif.
Sumber gambar: @mongolstres
Baca juga:
Anies Mantu Menaikkan Elektabilitas?
Dark Jokes dan Meme Zero Akhlak