Kasus Aksi Cepat Tanggap adalah alarm penting. Di luar sana, masih ada organisasi keagamaan/ filantropis liar seperti misalnya gereja palsu yang membangun karir pendirinya dengan ajaran ngawur tapi sangat komersil!
Dahulu, siapa yang tidak mengenal Aksi Cepat Tanggap? Organisasi yang didirikan oleh Ahyudin ini adalah inspirasi bagi banyak orang untuk diikuti jejaknya. Bagi para pekerja sosial dan aktivitis, Aksi Cepat Tanggap adalah juga rumah impian untuk melanjutkan karir, apalagi bagi mereka yang idealis. Namun dalam beberapa waktu saja, nasib Aksi Cepat Tanggap dan karir para pengelolanya di ujung tanduk. Pasalnya, mereka diduga menilep dana umat. Terbaru, bahkan mereka diduga menyelewengkan dana santunan korban Lion Air JT-160.
Kejadian yang menimpa Aksi Cepat Tanggap ini memang masih dalam penyidikan kepolisian. Namun, setidak tidaknya, di posisi saat ini, banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus Aksi Cepat Tanggap. Salah satunya adalah penertiban bagi banyak organisasi keagamaan liar yang tidak diawasi dan berpotensi menjadi sarana penyelewengan lainnya. Setidaknya, penertiban ini bisa dilakukan dengan menciptakan undang undang untuk mengaturnya. Lalu, apa seharusnya isi undang undang ini?
Audit Berkala
Hal paling sederhana tentu regulasi berupa pengawasan dari pemerintah. Selama ini, pengecekan dan audit organisasi keagamaan hanyalah sebatas audit ideologi. Namun, audit dari pemerintah untuk masalah keuangan lemah sekali, bahkan tidak ada audit untuk memastikan bahwa organisasi keagamaan liar ini bukan sarana untuk mengumpulkan keuntungan finansial kelompok tertentu semata. Karena itulah, perlu ada perubahan di sini karena faktanya banyak organisasi keagamaan adalah scam untuk mengumpulkan uang. Dugaan dugaan ini sudah banyak berseliweran di masyarakat, misalnya saja yang dibahas di akun instagram @gerejapalsu.
Lalu badan mana yang ditunjuk untuk mengaudit dan background check ini? Sebenarnya tidak perlu mendirikan badan baru lagi. Organisasi Keagamaan Liar dan Gereja Palsu ini bisa mendapat pengawasan dari Ombudsman. Yang diperlukan adalah penguatan kewenangan lewat revisi UU no 37 tahun 2008.
Kenapa Ombudsman dan bukan badan baru dari Kemenag misalnya? Menurut saya, pendekatan dalam kasus seperti Aksi Cepat Tanggap adalah pendekatan audit keuangan, bukan audit ideologi apalagi keamanan. Yang perlu kita pastikan dalam menghadapai apa yang kita sebut sebagai organisasi keagamaan liar atau gereja palsu atau apapun istilah lainnya adalah untuk memastikan dana tidak sampai terselewengkan.
Kenapa Begitu?
Balik lagi, selama ini, masalah dari Aksi Cepat Tanggap adalah bahwa karir di sana bisa membawa pulang uang hingga 250 juta per bulan! Soal urusan bahwa dana Aksi Cepat Tanggap ini masuk ke ISIS atau Palestina bisa kita obrolkan nanti. Tapi yang jelas, dana di sana tidak tersalurkan untuk umat, tapi malah nyasar ke hal konsumtif dan tidak sesuai fungsinya. Bukan berarti salah memiliki gaji sebesar itu jika kita bekerja dengan giat.
Permasalahannya, untuk ukuran organisasi filantropis dan penghimpun dana umat, ini adalah sebuah bentuk ketidaketisan yang luar biasa. Kalau misalnya sekarang kasus ini masuk penyelidikan ranah pidana, mungkin sulit menemukan hukum positif untuk menyelesaikan kasus ini. Tapi seenggak enggaknya, kita memahami bahwa ini tindakan yang sangat tidak bisa kita benarkan.
Nah, sebelum jauh melangkah bicara topik lain. Kita harus menemukan cara agar penyelewengan dana seperti ini bisa kita cegah agar jangan terjadi di organisasi keagamaan liar/ gereja palsu/ imitator Aksi Cepat Tanggap.
Isi Undang Undang Berikutnya, Background Check
Bisa tidak kita memaksa pemimpin pemimpin Organisasi Keagamaan Liar dan atau gereja palsu untuk mempublikasikan ‘siapa diri mereka sebenarnya?’ Bisa saja! Kita bisa melakukan revisi pada UU nomor 16 tahun 2017. Revisi undang undang ini misalnya dengan mewajibkan pemimpin pemimpin organisasi keagamaan liar maupun gereja palsu ini untuk mempublikasikan struktur organisasi mereka ke publik (harus lewat media massa dan online), CV mereka (karir kerja mereka) dan serta criminal records mereka. Kalau misalnya mereka bersih, kenapa harus malu untuk diungkap di publik?
Ada dua hal yang bisa kita capai dengan kebijakan ini. Yang pertama adalah mencegah sosok tidak bertanggung menyelewengkan dana yang seharusnya untuk umat. Berikutnya adalah untuk mempersulit sosok sosok yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan bisnis modal kasihan ini.
Kalau misalnya muncul anggapan ini melanggar independensi suatu organisasi misalnya, kita bisa membantahnya. Toh, namanya saja organisasi publik yang kegiatannya beririsan dengan masyarakat, wajar jika kemudian masyarakat memiliki hak untuk proaktif meminta organisasi organisasi macam ini bersikap buka bukaan.
Sanksi
Sebenarnya sanksi untuk penyelewengan dana ini bisa menggunakan KUHPidana yaitu pasal 372 dan juga UU no 8 tahun 2010 mengenai pencucian uang. Jadi, tidak perlu menciptakan undang undang baru, namun bisa menggunakan Pasal 372 KUHPidana juncto UU 8/2010.
Namun, untuk sanksi ini bisa kita tambahkan dengan misalnya dengan pencabutan hak. Misalnya saja hak untuk mendirikan organisasi. Hukuman ini kita tujukan bagi para terpidana. Harapannya, akan ada efek jera dan mengurangi kemungkinan kejadian serupa terulang kembali. Toh, pencabutan hak ini bukan barang baru karena di Indonesia terpidana kasus korupsi bisa kehilangan hak politiknya.
Kejahatan dengan mendirikan organisasi keagamaan liar dan gereja palsu ini seharusnya cukup wajar untuk dikenakan sanksi serupa karena toh setara dengan korupsi di tubuh pemerintahan.
Kesimpulan
Demikian tadi adalah inspirasi yang mudah mudahan bisa kita ambil dari kasus Aksi Cepat Tanggap. Ingat, sangat mengerikan jika kita membangun karir dari melakukan penipuan penipuan filantropis. Ini adalah kasus yang sangat penting. Aksi Cepat Tanggap adalah organisasi yang kebetulan sedang ketahuan saja. Faktanya, masih banyak ACT ACT lain yang wajib hukumnya ditindak tegas.
Baca juga :
Shinzo Abe Tewas Ditembak, Bukti Bahwa Terorisme Bukan Soal Ideologi, Tapi Perut!
Jangan lupa nonton
Orang Indonesia Timur Mau Curhat!