Waktu Baca: 3 menit

Citayam Fashion Week, yang kadang juga dapat julukan “Haradukuh” sempat disandingkan dengan Harajuku yang juga merupakan kiblat fashion di Jepang. Alasannya ya karena kedua trend ini muncul sebagai warna baru dalam dunia fashion di masing-masing negara. Keduanya pun juga menjadi ajang “nggak resmi” masyarakat di sana (bahkan dunia) untuk memamerkan selera fashion mereka.

Namun, meskipun punya “kulit” yang sama, kenyataannya Harajuku dan “Haradukuh” Citayam Fashion Week punya nasib yang berbeda. Nasib satu sama lain saling bertentangan karena kondisi sosial-masyarakat yang berbeda. Lalu apa saja perbedaannya?

Merek vs Public Domain

Salah satu perbedaan yang mencolok antara Harajuku dan “Haradukuh” Citayam Fashion Week jelas terlihat akhir-akhir ini. Meskipun pihak yang bersangkutan sudah mencabut klaim HAKI atas Citayam Fashion Week, tetap saja kejadian Baim Wong dan Indigo menjadi gambaran bagaimana perbedaan kedua fashion street ini.

Jika melihat Harajuku yang ada di Jepang, tradisi unik ini menjadi public domain (istilah yang masyarakat gunakan) yang mana setiap orang berhak menggunakan istilah ini. Kondisi di mana Harajuku menjadi public domain bisa meminimalisir polemik yang ada di sana. Tidak ada yang menyangkut pautkan trend Harajuku ini dengan merek-merek tertentu atau bahkan mendaftarkan Harajuku menjadi sebuah HAKI atas merek dengan embel-embel “menyelamatkan nasib Harajuku Fashion Street”.

Kondisi berbeda jelas dengan “Haradukuh” Citayam Fashion Week. Meledaknya trend ini justru menjadi kesempatan berbagai pihak untuk mendapatkan klaim atas trend ini untuk dijadikan merek. Terlepas dari keinginan yang Baim Wong sampaikan secara lisan di media-media, tetap saja menjadikan trend Dukuh Atas ini memperlihatkan bagaimana Indonesia melihat trend ini untuk cuan, bukan untuk public domain seperti Harajuku Fashio Street.

Lahir dengan Cara yang Mirip Tapi Perlakuannya yang Berbeda

Trend Harajuku di Jepang dan trend di SCBD (Sudirman Citayam Bojonggede Depok) sebenarnya lahir dari situasi yang serupa. Kedua trend di dunia fashion ini muncul karena unsur “ketidaksengajaan” yang berbuah viral. Jika Haradukuh muncul karena anak muda nongkrong dengan pakaian nyetil mereka, begitu pula Harajuku yang lahir karena remaja yang asik nongkrong di sekitaran Stasiun Harajuku.

Sayangnya, karena perbedaan budaya dan cara merespon sebuah trend yang muncul, membuat dua hal ini memiliki beban ekspektasi yang berbeda. Perbedaan Harajuku dan “Haradukuh” Citayam Fashion Week terlihat di sosial media. Di Jepang, Harajuku berkembang menjadi sebuah trend fashion street yang dipercaya dapat menjadi salah satu ikon Jepang.

Sementara itu Harajukunya Indonesia malah mendapatkan ekspektasi yang jauh berbeda. Masyarakat justru malah membebani mereka dengan embel-embel bahwa viralnya mereka nggak membawa apapun. Bahkan nggak sedikit netizen yang malah berkata bahwa lebih baik anak-anak ini fokus ke masalah Indonesia yang lebih pelik, ketimpangan sosial misalnya.

Sandiaga Uno sendiri pun juga bisa kita bilang salah dalam berekspektasi dengan anak-anak SCBD ini. Bukannya memberikan mereka lahan untuk mengembangkan mereka di dunia fashion, Sandiaga Uno malah menawari Bonge beasiswa kuliah yang sebenarnya bisa diberikan kepada orang yang lebih niat untuk berkuliah. Bonge sendiri seharusnya mendapatkan ekspektasi untuk mengembangkan street fashion ini bukan malah diminta berkuliah. Sandiaga bisa memperkuat Bonge sebagai ikon di sana dengan iklan pariwisata misalnya. Bisa juga membuat SCBD menjadi sentranya para desainer fashion street lainnya, bukan malah memberi beasiswa, itu urusan Kemendikbud aja wis. Atau beasiswa ini sebenarnya buat kampanye? Hehehe…

Harajuku dan Haradukuh lahir dengan cara yang sama, tapi perlakuan terhadap mereka berbeda. Sebuah kondisi yang unik.

Merespon “Tukang Pansos” dengan Cara yang Berbeda

Menjadi sebuah trend terutama di industri fashion seharusnya disadari dengan kenyataan bahwa konsekuensinya adalah akan banyak orang ada di sana. Harajuku dan “Haradukuh” Citayam Fashion Week mempunyai kesadaran yang berbeda.

Berbeda dengan Harajuku yang sangat berwarna (ada fashion cosplay hingga street fashion di sana), Haradukuh justru malah seakan akan dibuat hanya satu warna. Banyak yang memprotes kehadiran-kehadiran warna baru yang ada di sana. Mereka menganggap orang-orang kaya yang muncul di Citayam Fashion Week hanya pansos semata dan mengganggu Bonge dan Jeje cs.

Padahal kalau kita pikir, Harajuku pun seperti itu. Awalnya mereka hanya satu warna, yaitu hanya berasal dari remaja-remaja tanggung yang doyan nongkrong. Namun, penyikapan yang bereda tentang kehadiran-kehadiran orang baru (pansos) membuat Harajuku eksis sampai sekarang. Justru dengan protes kehadiran orang-orang baru di Citayam Fashion Week bisa jadi malah membuat trend ini menjadi hambar suatu saat nanti.

Foto oleh Laurentiu

Baca juga:

Citayam Fashion Week Adalah Bukti Lemahnya UU HAKI di Indonesia

Genderless Fashion: Trend Fashion untuk Semua Gender yang Menarik

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini