Semakin ke sini jumlah kasus tidak manusiawi yang berkaitan dengan agama semakin ada-ada saja. Kasus terbaru ada anak seorang yang harusnya memiliki agama yang kuat justru menjadi pelaku kejahatan seksual. Sudah menjadi pelaku dia pun sempat seakan mendapatkan perlindungan dari ayahnya. Ketika pihak kepolisian menangkap si pelaku ada hal yang mengejutkan. Banyak anak didiknya yang melindunginya seakan mereka tidak melihat bahwa si pelaku ini salah. Katanya sih karena ada “cuci otak” di sana, salah satunya dengan metafakta. Tentu saja kondisi ini mencedari agama dan membuat kita sadar bahwa beragama perlu berbarengan dengan logika.
Modus Umum Para Pelaku di Kalangan Agama
Salah satu modus umum yang pelaku kejahatan di kalangan agama biasanya adalah menjanjikan berkat atau surga dan neraka atau karma baik yang akan didapatkan pengikutnya. Modus ini sering saya dapati di hampir semua agama di Indonesia.
Kunci sukses modus ini sebenarnya adalah pengerusakkan logika, seperti teknik metafakta karya pelaku yang baru saja tertangkap. Klaim dari Mas Bechi alias si pelaku nih (hehehe maaf ga sengaja kesebut) seperti yang diceritakan Nun Sayuti, metafakta adalah ilmu kanuragannya untuk menyembuhkan penyakit. Nggak cuma itu, Mas Bechi juga mengklaim bahwa ilmu ini bisa untuk mengabulkan harapan.
Menurut keterangan korban, Mas Bechi memaksanya dengan ngomong ” kalau kamu tidak mau berarti kamu masih menggunakan akal, kamu belum menjiwai itu metafakta”. Menarik bukan? Dia memelintir logika yang sebenarnya dengan logika baru agar modus nafsunya bisa tersalurkan.
Sebenarnya bukan hanya Mas Bechi, saya sendiri banyak melihat berbagai pemuka agama yang memanfaatkan dana umatnya dengan iming-iming pahala untuk memperkaya diri sendiri.
Logika: Sebuah Sistem Memahami Benar dan Salah
Salah satu keuntungan kalau kita memiliki logika adalah kita bisa menganalisis sebuah kejadian. Logika kita yang berjalan dengan fakta, realita, hukum sebab akibat bisa membawa kita ke analisis kejadian yang kritis. Dengan analisis atas suatu hal yang kritis dengan logika kita bisa memberikan penilaian apakah hal tersebut bisa kita katakan benar atau salah. Baik itu secara kepercayaan pribadi atau memadukannya dengan kompas moral yang ada. Jika suatu kondisi berujung kepada kerugian yang kita alami dan faktanya berkata demikian dan berpadu padan dengan kompas moral, logika bisa membantu kita menghindarinya. Logika berfungsi sebagai alat saring baik dan buruknya secara fakta. Kalau mendapatkan kekerasan seksual logikan akan bermain untuk segera menyelamatkan diri kita sendiri modusnya dengan agama.
Menyelamatkan Agama dengan Logika
Narasi soal beragama bertentangan dengan logika sesungguhnya adalah narasi yang yaaa gitu deh (baca: ngaco!). Namun seringkali agama dan logika sengaja dipisahkan agar umat yang bersangkutan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Baik itu secara ekonomi maupun secara seksual. Memisahkan beragama dengan logika nyatanya sudah membawa agama ke jalan yang sesat (lho!?). Agama yang seharusnya berfungsi sebagaiĀ social controlĀ dan “penyelamat” justru bisa menjadi pembawa bencana seperti pelecehan seksual.
Dengan berlogika, yaa jelas kita bisa meminimalisir hal konyol seperti ini. Kalau saja memang logika bisa menjadi penyanding agama yang pas setidaknya orang-orang seperti Mas Bechi dan ilmu Metafakta (tidak ada hubungannya dengan metaverse) nggak bakalan laku. Orang-orang bisa menyaring mana tempat belajar agama yang benar dan mana yang nyeleweng. Dengan adanya logika dalam beragama, kita bisa meminimalisir kegagalan peran agama dalam struktur sosial masyarakat.
Kalau saja logika memang tidak penting dalam beragama, pertanyaannya mudah: Kenapa modus-modus seperti Mas Bechi menyasarnya logika bukan yang lain? Jawabannya jelas, karena logika menjadi batu sandungan mereka dalam berbuat sewenang-wenang.
Kan gak lucu gara-gara beragama tanpa logika niatnya mau ke surga eh malah ke Mas Bechi. Hehehe….
Ilustrasi oleh Luis Quintero
Baca juga:
Arawinda Kirana dan Kegagalan Kita Memahami Realita
Betapa Berartinya Logika dalam Jatuh Cinta