Waktu Baca: 3 menit

Arawinda Kirana, aktor yang terkenal gara-gara film Yuni ini baru saja menuai kontroversi dari kasus yang dia hadapi. Dia baru mengalami sebuah skandal karena merebut seorang pria dari istrinya. Tentu saja, seakan menjadi sebuah pola, netizen pada akhirnya merundung perempuan ini. Dia mendapatkan cap “pelakor”. Selain itu, banyak yang merundung Arawinda Kirana karena mengkhinati perannya sendiri di film Yuni.

Pada akhirnya merebut pasangan orang lain bisa saja dikatakan salah. Namun, dalam kasus Arawinda Kirana ini, kita menjadi pihak yang mengalami kegagalan memahami realita. Kenapa?

Berkaca Pada Peran Arawinda Kirana Sebagai Yuni

Tombak yang paling tajam yang netizen gunakan untuk merundung Arawinda Kirana dalam kasus yang dia hadapi adalah perannya di film Yuni. Dia yang berperan sebagai Yuni menjadi jembatan buat mengkampanyekan isu feminisme. Arawinda yang menjadi seorang perempuan SMA tidak mau menerima lamaran dari beberapa pria. Dalam film tersebut Yuni merasa bahwa pilihannya ini tepat. Dia memilih menolak lamaran pria untuk melanjutkan studi. Meskipun nampak tepat, Yuni menjadi gambaran perempuan yang serba salah karena sosial menganggapnya nggak bakalan laku karena pilihannya.

Menilik dari perannya di film tersebut, Arawinda dianggap sebagai wakil dari suara lantang gerakan feminisme. Dia mengkampanyekan isu perempuan yang selama ini seakan hanya gema kecil yang muncul. Namun, karena kasus ini membuat netizen menganggap Arawinda Kirana mengkhianati dirinya sendiri di film Yuni. Dia malah menjadi pihak yang justru mencederai sesama perampuan.

Gambaran Kita Nggak Bisa Memahami Realita

Menjadikan peran Arawinda Kirana sebagai Yuni sebagai patokan dalam kasusnya adalah sebuah kegagalan berpikir yang kita lakukan. Memang dalam film tersebut Yuni adalah seorang yang menjadi suara perempuan. Tapi, meskipun dia berperan sebagai Yuni, yang perlu kita garis bawahi adalah kata peran di situ. Yuni bukanlah Arawinda Kirana dan begitu pula Arawinda Kirana bukanlah seorang Yuni.

Berperan menjadi suatu tokoh tidak mencerminkan diri seseorang secara utuh. Menjadi aktor adalah menjadi orang lain yang mungkin bukan diri kita sendiri. Mungkin saja tokoh tersebut bertolak belakang dengan pemerannya atau seorang aktor bisa berperan untuk 2 tokoh yang berlawanan.

Contoh saja adalah Michael Keaton. Di film Batman yang jauh sebelum Robert Pattinson menjadi Bruce Wayne, Michael Keatonlah yang memerankan karakter ini. Tentu saja Bruce Wayne yang juga Batman adalah pembela Gotham City dengan caranya sendiri. Dia adalah protagonis utama. Namun, di film Spiderman: No Way Home dia adalah si antagonis Vulture, sebuah peran yang bertolak belakang dengan Bruce Wayne – Batman yang sempat dia perankan.

Menjadi seorang aktor bukan berarti memegang teguh nilai-nilai apa yang aktor pegang. Begitu juga dengan Arawinda Kirana yang tidak sepenuhnya bertanggung jawab untuk memegang nilai yang Yuni pegang. Arawinda Kirana tetaplah seorang Arawinda Kirana. Peran dan aktor adalah suatu hal yang sangat berbeda dan tidak mencerminkan satu sama lain. Menyalahkan Arawinda Kirana dengan membandingkan perannya di film Yuni sebenarnya justru mencerminkan kegagalan kita dalam berpikir. Kita mencampuradukkan fiksi dengan realitas dan itu tidak masuk akal.

Kalau memang pada akhirnya seorang aktor juga memegang prinsip yang sama persis dengan perannya di film, maka Josh Brolin kini sedang berusaha melenyapkan setengah populasi manusia.

Sebenarnya Umum Terjadi di Indonesia

Kebiasaan mencampuradukkan peran dan aktor sebenarnya hal yang lumrah di Indonesia. Pada awalnya, hal ini terjadi di sinetron-sinetron. Para pemeran tokoh antagonis di sebuah sinetron nggak jarang jadi sasaran amuk penontonnya. Salah satu korbannya adalah Helsi Herlinda. Dia yang cukup akrab dengan perannya sebagai tokoh antagonis di sinetron Indonesia bercerita bahwa dia pernah mengalami pengeroyokan. Saat itu Helsi Herlinda dikeroyok oleh 5 ibu-ibu yang merasa bahwa Helsi Herlinda memang orang yang jahat seperti di sinetron. Begitu pula dengan Dinda Kanya Dewi dan Yurike Prastika yang mengalami hal yang serupa setelah memerankan tokoh antagonis.

Pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan kita akan terus mencampuradukkan seorang karakter dengan aktornya? Hal ini memang sudah sering terjadi di Indonesia dan terkesan lumrah. Namun, tetap saja mencapuradukkan peran dengan aktornya adalah kesalahan berlogika. Mencampurakdukkan peran dengan aktornya adalah sesat atau kesalahan berpikir. Apa yang Arawinda Kirana alami sekarang justru bikin saya tepok jidat karena kegagalan kita dalam memahami realita dan memisahkannya dengan cerita fiksi.

Sumber gambar: @arawindak

Baca juga:

Kita Mempercayai Pasangan Kita dan Mencintai Selingkuhan Kita

Selingkuh Menurut Pelaku, Ada Apa Sebenarnya?

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini