Bagi beberapa orang, Mars Perindo adalah lagu hits pada jamannya. Mars Perindo bersaing dengan lagu lagu dari band top dan vokalis jempolan untuk merebut hati masyarakat. Tapi sayang, yang populer lagunya saja, partainya yaitu Perindo adalah kegagalan yang sama di tiap kasus parpol baru di Indonesia. Namun, kegagalan partai itu tidak serta merta memalukan. Bagaimanapun juga parpol ini meninggalkan bekas di benak pecinta gosip politik. Saat itu, strategi partai ini dengan branding yang cantik dan upaya merangkul UMKM dianggap cukup bagus untuk ditiru. Apalagi, meski pemilu sudah lama berlalu, gerobak gerobak Perindo masih terlihat bertebaran dan menebarkan inspirasi bagi banyak orang (halah!). Nah, menuju 2024 ini Perindo datang dengan strategi baru. Mereka menghadirkan kejutan dengan bergelut di politik feminisme. Apakah hasilnya akan memuaskan? Apakah bisa meningkatkan elektabilitas atau sekedar bikin rame semata?
Liliana Tanoesoedibyo Dan Perannya
Yang paling keliatan tentunya sosok Bu Liliana. Tidak sekedar istri ketua partai, Bu Liliana Tanoesoedibjo adalah frontman Perindo saat ini. Wajah dan namanya bertebaran di berbagai baliho Perindo. Biasanya, sosoknya akan didampingi foto ketua dewan pengurus wilayah yang kebanyakan adalah perempuan.
Hal ini menjadi menarik karena seolah olah Perindo punya positioning baru. Perindo tak lagi partai yang menonjolkan isu UMKM. Kini Perindo beralih ke politik feminisme. Singkatnya, nilai yang Perindo jual adalah peran wanita. Dari brandingnya saja, kesan yang ditangkap adalah: Ini lho Perindo, memuliakan perempuan di politik! Wah berat jendral. Sebab parpol lainnya tampaknya tidak seniat Perindo untuk bermain di branding feminisme.
Tapi, apa ini langkah yang tepat?
Wanita Pasar Potensial
Bisa jadi ini adalah langkah yang sangat tepat. Jumlah pemilih wanita di Indonesia mencapai 49,42 persen dari total populasi. Ini adalah pasar yang sangat besar untuk diolah. Partai Demokrat pada 2009 disinyalir menang besar karena banyak menyerap pemilih wanita ini. Baik yang merasa bahwa Susilo Bambang Yudhoyono kasep hingga yang tertarik dengan calon calon legislatif wanita yang ditawarkan oleh Partai Demokrat. Salah satunya adalah Angelina Sondakh.
Namun, pada pemilu 2014 dan 2019, pasar potensial ini malah tenggelam. Kenapa begitu? Sebab di saat bersamaan politik identitas, religius dan nasionalis dibenturkan dengan hebat. Para pemain pemain dalam konflik ini kebetulan rata rata maskulin. Karena itulah, peran wanita seolah terpinggirkan.
Baru setelah terjadi persatuan Jokowi dan Prabowo, isu perempuan ini kembali naik. Pasalnya, isu politik identitas semakin kesini semakin tenggelam. Bisa saya katakan isunya sudah berubah. Kali ini kita naik level ke level dimana yang menjadi perdebatan adalah kesetaraan hak.
Nah, Perindo yang berhasil curi start dengan membahas hal ini duluan, bisa naik namanya. Menang pemilu sih enggak. Tapi memperbaiki posisi rasa rasanya mungkin saja. Toh Perindo adalah partai yang punya modal kuat. Apalagi sosok Liliana Tanoesoedibjo ini sudah menarik duluan.
Ingat, Mars Perindo ini konon juga gubahan dari istri Hary Tanoe. Jadi, Liliana ini untuk Perindo adalah salah satu sosok penting untuk menang. Kalau dulu dia bisa menarik orang dengan Mars Perindo, siapa tahu kali ini ia bisa menarik orang sebagai garda depan Perindo sekaligus tokoh yang mendapat brand pejuang feminisme perempuan?
Badai Politik Feminisme
Setelah urusan konservatif dan nasionalis ini mereda dengan ‘kemenangan’ (untuk sementara) kubu nasionalisme, maka arah kontestasi politik mengarah ke maskulin versus feminim. Dapat dilihat bahwa gerakan women lobbypun mulai menemukan momentumnya untuk melawan dominasi kaum Adam di sana.
Di Indonesia, keberadaan UU 23 tahun 2003 menegaskan bahwa pengaruh wanita mendapat pengakuan dalam politik Indonesia. Untuk maju ke Pemilu, setidaknya partai harus mengajukan calon perempuan sebanyak 30 persen. Harapannya jumlah anggota DPR dari kalangan perempuan akan ada di kisaran angka tersebut. Saat ini angka tersebut sudah ada di angka 28 persenan. Untuk pengurus partai juga sama, minimal ketika mengajukan izin di Kemenkumham harus memiliki jumlah pengurus perempuan sebanyak 30 persen juga. UU 23/2003 ini lalu mendapat penegasan lagi dengan UU 2/2008. Semakin mendekati Pemilu 2024 ini, isu perempuan terus mendapat panggungnya. Apalagi setidaknya ada tiga tokoh wanita yang digadang gadang bisa mendapatkan momentum sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden di 2024. Ketiganya adalah Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti dan Puan Maharani.
Nah, ketika Perindo sudah berhasil mencuri start duluan, ini baik untuk mereka. Mereka bisa mendapatkan efek secara maksimal dan menikmati hasilnya berupa kenaikan elektabilitas yang konsisten dan efisien.
Jangan Cuma Cover!
Tapi politik feminisme ini juga bisa menjadi masalah, apalagi kalau ternyata politik feminisme hanya hadir sebagai sampul semata. Hal ini sudah terjadi dalam beberapa partai. Ada partai yang mencalonkan perempuan sesuai kuota, tapi mereka semua ditaruh dalam urutan bontot di surat suara.
Ada juga kasus politik feminisme ketika tokoh tokoh wanita yang dimasukkan adalah artis kemarin sore dan terkenal hanya karena kelakuannya yang bombastis. Kalau sudah begini, langkah politik feminisme hanya berakhir sebagai bungkus doang, tidak menghasilkan apa apa sama sekali.
Pendeknya, kalau memang ingin memperjuangkan hak wanita ya perjuangkanlah. Jangan cuma cover!
Kesimpulan!
Langkah Perindo untuk menguatkan citranya di politik feminisme patut kita acungi jempol. Sungguh menyegarkan dan menggembirakan saat ada parpol yang mau menguatkan pembicaraan mengenai feminisme di politik praktis. Namun, jangan sampai hanya berakhir di pencitraan saja.
Perlu kita lihat bersama, apakah Perindo mengambil langkah drastis agar wanita mendapat posisi yang strategis di politik atau malah hanya memanfaatkan wanita untuk kepentingan sementaranya saja. Sebab, seperti kita lihat, sudah banyak partai yang sekedar melaksanakan kewajiban saja dalam isu isu feminisme. Tentu kita tidak mau hal hal semacam ini terulang lagi. Bahkan kalau misalnya Perindo melakukan hal ini, mungkin rasa kecewa banyak wanita akan dobel karena sebelumnya mereka punya kepercayaan yang kuat pada Perindo.
Hanya Tuhan yang tahu jawabannya mengenai akhir usaha Perindo menggalakkan feminisme.
Baca juga :
LGBTQ di Indonesia, Banyak Yang Ingin Dipidanakan Tapi Dasar Hukumnya Berbahaya
Genderless Fashion: Trend Fashion untuk Semua Gender yang Menarik
Tonton juga :
Dolan Ke Pasar Rakyat!
[…] Dulu Terkenal Karena Mars Perindo, Kini Perindo Adalah Benchmark Politik Feminisme […]