Kenaikan BBM bersubsidi jelas menuai banyak sekali protes dari masyarakat. Salah satu pihak yang jelas nggak mau ketinggalan ambil andil dalam protes ini adalah mahasiswa. Para pemuda yang dianggap paling mewakili mulut rakyat sudah memulai aksi demo di mana-mana.
Jika kita melihat bagaimana cara mahasiswa sekarang berdemo ria, jelas ada perbedaan daripada demo-demo sebelumnya. Terutama kalau melihat demo era The Smiling General dulu. Biasanya pada masa itu demo mah sah-sah aja pakai bakar-bakar ban dan seakan kericuhan pada masanya memang tidak bisa terhindarkan. Ya, namanya pemerintahan pada zaman itu.
Sekarang, mahasiswa, yang kebetulan masih terhitung segenerasi dengan saya, masih biasa menggunakan demo secara konvensional. Tapi, beberapa kali muncul demo-demo kreatif di media sosial yang menjadi warna baru dalam demo sekarang.
Sayangnya, kondisi sekarang bikin demo mahasiswa makin ribet. Jujur saja, saya melihatnya seperti itu. Mereka yang pada awalnya jadi corong masyarakat untuk mengemukakan pendapat malah sering diserang masyarakat itu sendiri. Alasannya karena cara demo mahasiswa nggak jarang nggak cocok sama masyarakat yang ingin keinginannya dihantarkan mahasiswa.
Masalah Demo Konvensional Bagi Mahasiswa
Demo konvensional, demo-demo yang biasa di jalan-jalan sambil bakar ban itu, adalah cara demo yang sudah mendarah-daging sepertinya. Nggak afdol kalau demo nggak bakar-bakar ban, orasi sambil berdiri di atas mobil—truk biasanya.
Namun, demo cara ini sebenarnya sudah mendapatkan banyak kritikan. Apalagi kalau yang melakukan para mahasiswa. Banyak sindiran-sindiran yang menyebut bahwa mahasiswa sekarang adalah ‘mahasewa’ karena demo mereka yang seakan nggak tepat sasaran. Lebih lagi, akhir-akhir ini demo mahasiswa sering berakhir dengan pengerusakan, baik itu sama oknum atau pihak mahasiswa itu sendiri. Terbaru, sejumlah mahasiswa melakukan pengerusakan gerbang gedung DPRD Kota Bogor.
Padahal kalau dipikir-pikir, gerbang yang mereka rusak justru bisa jadi kesempatan buat menganggarkan beli baru kan? Sudah lupakan saja. Paragraf ini hanya racauan saya.
Pada akhirnya, demo-demo yang sering berakhir dengan ‘nggak damai’ ini mencoreng citra mahasiswa. Mereka yang ‘maha’-nya para siswa justru caranya seperti orang yang nggak layak menyandang pangkat ‘maha’ malah nggak jarang berakhir anarkis, begitu kata para kritikus mereka.
Kreatif Dicap ‘Main Aman’ dan Cari Praktis
‘Jokowi, King of Lip Service’, mungkin kata-kata ini nggak asing di telinga kita. Saking populernya banyak yang me-remake istilah ini dalam bentuk karya seni. Paling viral dulu menjadi mural yang pada akhirnya petugas mencat ulang tembok yang bersangkutan.
BEM UI-lah yang bertanggung jawab atas semua ini. Bukan bermaksud memojokkan, tapi memang merekalah yang membuat narasi ‘Jokowi, King of Lip Service’ ini meledak. Mereka sukses besar mendapatkan engagement di sosial media dengan narasi kreatif ini. Dari sini terlihat bahwa ada cara berdemo yang baru, yaitu demo melalui media sosial. Menarik, jujur saja.
Kampus saya pun sempat demikian. Sekitar 2 tahun yang lalu seingat saya, kampus di mana saya mengais ijazah mendapatkan protes dari mahasiswanya. Tidak ada pemotongan atau pembebasan UKT adalah alasannya. Padahal saat itu banyak mahasiswa yang terdampak COVID-19.
Salah satu cara mahasiswa kampus saya saat itu pun sama dengan yang BEM UI lakukan. Melakukan demo di sosial media. Meskipun ya…, di mata saya tidak semulus BEM UI tapi setidaknya ini adalah cara demo yang lebih kreatif.
Namun, ‘demo-demo’ kreatif ini tetap saja nggak memuaskan dahaga masyarakat akan adanya…, revolusi? Saya menaruh tanda tanya memang sengaja, saya pun bingung juga dengan keinginan ‘revolusi’ dari masyarakat.
Para masyarakat lagi-lagi mengkritik cara mahasiswa berdemo ini. Setelah demo konvensional dicap selalu berakhir anarkis, demo lewat sosial media dianggap mahasiswa cuma cari praktis. Mahasiswa dianggap tidak berani turun ke jalan dan menyuarakan suara rakyat.
Bagaimana? Repot kan jadi mahasiswa di era sekarang? Padahal intinya adalah menyampaikan aspirasi bukan?
Lalu Sebaiknya Demo Itu Bagaimana?
Bitter truth, kalau menurut saya, secara konvensional sudah nggak terlalu efisien lagi. Iya, begitulah yang ada di kepala saya.
Sekarang demo secara konvensional memang sudah tidak seideal dulu. Banyak yang memang berakhir ricuh yang nggak ada fungsinya atau berakhir pengerusakan oleh oknum-oknum yang nggak bertanggung jawab.
Contoh yang paling mudah adalah ketika teman-teman mahasiswa melakukan pengerusakan di kantor DPRD Bogor seperti yang saya ceritakan tadi. Mereka yang melakukan demo tidak bisa menemui para anggota DPRD, justru malah anggota-anggota dewan pergi nggak tahu ke mana. Atau berbagai kendala lainnya.
Kini, demo lewat media sosial, seperti yang BEM UI lakukan dahulu, nyatanya bisa jauh lebih mendapatkan atensi daripada yang konvensional. Begitu pula dengan apa yang seorang hacker bernama ‘Bjorka’ lakukan. Dia yang terus mendapatkankan engagement di media sosial lewat aksinya justru malah bisa bikin ketar-ketir Kominfo. Mungkin saja jika protes kebocoran data hanya dilakukan dengan demo, Kominfo nggak akan sepusing ini.
Dunia sekarang sudah berkembang, mahasiswa yang merupakan ‘maha’-nya para siswa seharusnya mendapatkan dukungan untuk memperbarui cara berdemonstrasi. Mungkin cara demonstrasi konvensional sukses menurunkan Soeharto, tapi modern problem need modern solution, kan?
Ilustrasi foto oleh Kelly
Baca juga:
Mahasiswa Banyak Aksi Tapi Sebenarnya Pamer Eksistensi?
Kredibilitas Aksi Mahasiswa Ambles di Tangan Kaharuddin