Melihat banyaknya masalah yang ada di kepolisian bikin kita menerka-nerka soal persyaratan menjadi seorang polisi, atau setidaknya masuk Akpol. Salah satu yang jadi sorotan kita bersama adalah soal persyaratannya yang memperbolehkan anak SMA masuk ke Akpol. Padahal, bisa kita bilang SMA itu masih bocah. Kondisi emosional mereka nggak mungkin sebaik yang kita harapkan. Pada akhirnya, muncul protes soal hal ini dan mengidekan lebih baik orang yang boleh masuk Akpol minimal bergelar sarjana. Saran ini menarik, tapi menaikkan syarat masuk Polisi jadi S1 nggak akan memperbaiki apapun.
Gelar Bukan Jaminan, Bahkan S2 Bisa Saja Tetap Abusive
Jika memandang masalah tingkat pendidikan sebagai jalan keluar untuk permasalahan polisi sekarang, sekilas kita seperti melupakan banyak kejadian memalukan di sekolah bahkan di Universitas.
Mungkin masih jelas teringat di pikiran kita soal sosok Herry Wirawan. Mungkin kalau ada yang lupa atau baru saja selesai berhibernasi akan sedikit saya ingatkan. Herry Wirawan ini adalah tersangka dari kasus pemerkosaan terhadap para santriwati dan juga melakukan eksploitasi terhadap bayi-bayi hasil kejahatannya.
Dia adalah seorang guru, dan sempat menempuh jenjang S2 di salah satu Universitas namun pada akhirnya harus dikeluarkan. Kita coba garis bawahi di penempuhan jenjang S2 ini. Jelas sudah kita ketahui bahwa jika seseorang pada akhirnya bisa menempuh jenjang S1, maka sebelumnya dia adalah seorang sarjana, jelas dan pasti.
Namun, bukannya memiliki attitude yang baik sebagai sarjana, Herry malah berbuat hal yang mencederai hati para orang tua dan merusak hidup anak didiknya.
Pada jenjang universitas pun demikian. Kebiasaan dosen melakukan tindakan abusive ke mahasiswanya seakan sudah menjadi rahasia umum. Universitas selalu terkekang dalam pusaran masalah dosen-dosen yang kurang memiliki attitude yang baik, meskipun tidak semua dosen memiliki attitude yang buruk.
Mungkin hanya sedikit yang mengetahui kasus ini. Di daerah Riau tepatnya di Universitas Riau sempat terjadi masalah kekesaran seksual pula. Pelakunya di sana adalah mahasiswa, dan, semoga kalian garis bawahi, dosen di Universitas tersebut. Kasus ini semakin memperpanjang lagi bukti bahwa, bahkan S2 sekalipun (dosen) bisa melakukan tindakan abusive.
Oh iya, jangan lupa wakil rakyat kita yang terjebak kasus korupsi bukan lulusan SMA saja lho. Bahkan beberapa di antara mereka mengaku lulusan universitas di luar negeri.
Baca juga: Hukuman Herry Wirawan Politis dan Tidak Menyelesaikan Masalah?
Belajar Berpikir Bukan Belajar Mencari Gelar
Jika kita menitik beratkan permasalahan kepolisian dengan mengubah syarat menjadi polisi harus minimal bergelar S1 sebenarnya bisa jadi benar tapi nggak tepat.
Salah satu hal yang menjadi masalah di dunia pendidikan kita sebenarnya adalah kita selalu diajarkan buat memiliki nilai sebaik-baiknya. Nggak jarang nilai lebih penting dari kemampuan lainnya, salah satunya kemampuan berpikir.
Hal ini saya dapati ketika kuliah, baik itu ketika saya bersama angkatan saya, adik tingkat saya atau kakak tingkat saya. Mereka yang shopper alias ambil semester atas memang memiliki IP yang bagus, tapi soal kemampuan berpikir bisa saya bilang masih selevel dengan yang mengulang. Bedanya adalah yang satu males yang satu enggak. Ending-ending-nya mereka hanya belajar sesuai text book yang ada terlepas dari text book itu benar atau salah.
Padahal, kemampuan berpikir inilah yang lebih penting daripada sekedar gelar S1 buat masuk kepolisian. Katanya Goleman sih, kecerdasan emosional yang baik bergantung dengan cara berpikir yang benar.
Sebut saja seperti kalian terkejut akan sesuatu. Kejutan ini jelas bikin kita emosi jiwa, tubuh kita seakan berada di posisi “siap tempur” karena dentuman ini. Tapi, kenyataannya, menurut Goleman, otak berpikir kita yang rasional akan berpengaruh pada emosional dan tindakannya. Kalau kita nggak bisa berpikir dengan baik maka nggak mungkin kita nggak marah-marah padahal sebenarnya kejutan itu bisa jadi nggak membahayakan kita. Kita jadi salah langkah untuk mengambil antisipasi.
Kondisi inilah yang terjadi di tragedi Kanjuruhan. Munculnya pitch invander jelas mengejutkan keamanan. Mereka yang nggak terlatih berpikir akhirnya cari jalan pintas yang membahayakan yaitu menyemprotkan gas air mata (yang ternyata sudah kadaluwarsa). Jika saja mereka mendapatkan latihan berpikir, bukan hanya punya gelar S1 semata, tragedi ini bisa dihindari karena kemampuan berpikir aparat di Kanjuruhan.
Baca juga: Kecerdasan Emosional Masyarakat Kita dan Kepolisian
Solusinya Nggak Sesederhana Menaikkan Syarat Masuk Polisi jadi S1
Dengan betapa kompleksnya masalah kepolisian, jelas solusinya nggak semata-mata menaikkan batas minimal dari SMA ke S1. Banyak aspek yang harus diperbaiki mulai dari proses perekrutan hingga bagaimana mendidik calon polisi itu sendiri.
Selain itu, agar maksimal, jelas koordinasi polisi dengan pihak-pihak lain harus diperbaiki. Bila kemarin polisi nggak tahu bahwa ada aturan FIFA maka koordinasi kepolisian dan PSSI perlu dipertanyakan. Dan bila memang terbukti seperti itu tidak menutup kemungkinan kepolisian tidak memahami standar-standar lainnya. Sungguh PR yang luar biasa besar.
Masalah kepolisian adalah hal yang sangat kompleks sejak dulu. Berpaku pada perubahan syarat masuk dari SMA ke S1 jelas bukan solusi, saya ulangi sekali lagi.
Baca juga: #Percumalaporpolisi Jangan Jadi Bahan Candaan, Tapi Merubahnya Sulit
Sumber gambar: detik.com
[…] Menaikkan Syarat Polisi Jadi S1 Nggak akan Memperbaiki Situasi […]