Waktu Baca: 3 menit

Di mata saya, gim bukanlah hal yang memicu tindakan kekerasan!

Saya pernah membaca kicauan dari dr. Endhi yang berkata seperti ini

“Klitih, pembacokan oleh anak dibawah umur? Kenapa terjadi? Kebiasaan main game online yang mengajarkan kekerasan, pembunuhan dan kesadisan menyebabkan sifat tersebut tertanam di alam bawah sadar dan dipraktekkan di dunia nyata, #blokir konten game yang mengandung kekerasan”

Pada tulisan ini, saya gak akan membahas klitih karena saya bukan warga Yogyakarta, dan saya juga tidak tinggal di Yogyakarta. Saya akan membahas gim-gim bertemakan kekerasan seperti Grand Theft Auto atau Sleeping Dogs selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat. Gim-gim tersebut kabarnya dapat membuat orang yang memainkannya bakalan jadi kriminal.

Alasannya, karena dalam gim tersebut, kita, sebagai tokoh utama, bisa melakukan aksi-aksi kriminal seperti mencuri mobil, membunuh orang, merampok bank, hingga membunuh siapa saja yang kita kehendaki, termasuk melawan penegak hukum seperti anggota kepolisian sekalipun tanpa batasan.

Belum Pernah Mengetahui Rating dari Gim

Orang yang berkata seperti itu, belum tahu ada Rating pada gim layaknya acara televisi. Ada gim yang diperuntukan untuk Balita dengan sebutan Early Childhood (eC). Ada gim  untuk semua usia dengan sebutan Everyone (E). Kemudian ada gim untuk Remaja dengan sebutan Teen (T). Ada pula gim yang untuk orang di atas 17 tahun dengan sebutan Mature (M). Terakhir ada gim yang untuk orang di atas 21 tahun dengan sebutan Adult Only (Ao).

Grand Theft Auto dan Sleeping Dogs sendiri Ratingnya Mature (M). Seseorang yang berusia minimal 17 tahunlah yang boleh memainkan gim ini. Sedangkan di Indonesia, sebagian besar orang tua belum tahu bahwa ada Rating khusus untuk gim, anime, dan juga komik. Mereka memukul rata semua gim, anime, dan komik yang beredar itu khusus untuk anak-anak dan remaja, termasuk orang tua saya.

Baca juga: Ageisme, Sebuah Kebiasaan Diskriminasi Umur yang Menyebalkan

Munculnya Stigma Ini

Tapi, meskipun saya dan teman-teman sebaya saya memainkan gim dengan tema kekerasan sejak SD, saya dan teman-teman saya belum pernah (doakan jangan sampai pernah) memukul orang di jalanan, apalagi sampai membunuhnya, seperti yang saya lakukan pada gim Grand Theft Auto. Padahal selama ini selalu beredar stigma, “Jangan main game gituan! Nanti kamu bakal jadi kriminal! Bunuh-bunuh orang. Ih!”

Stigma negatif tersebut sebetulnya berasal dari salah teori komunikasi massa, yaitu jarum hipodermik. Saat saya kuliah ilmu komunikasi, dosen saya menjelaskan bahwa teori jarum hipodermik berkembang saat televisi mulai berkembang pasca Perang Dunia II. Teorinya adalah, penonton yang terus-terusan mendapatkan tontonan kekerasan, akan menjadi orang yang sering berbuat kasar karena tontonan sehari-harinya itu.

Tidak lama setelah itu, berkembang juga teori komunikasi massa lainnya, yakni teori kultivasi yang menyebut bahwa seseorang yang mengkonsumsi tayangan televisi lebih dari 4 jam sehari, punya realitas semu. Dia akan menganggap realitas yang dilihat di televisi adalah realitas sesungguhnya dalam kehidupan nyata. Jadi halu gitu gak bisa bedain mana kejadian di dunia maya dan kejadian di dunia saya.

Para ademisi dan masyarakat seolah mengamini hal tersebut karena sejumlah psikopat yang mereka temui. Contoh, Ted Bunny, yang telah melakukan tindakan pemerkosaan disinyalir karena kebiasaannya menonton film porno dan film bertemakan kekerasan. Jadinya setiap kali muncul psikopat kayak gitu, yang jadi kambing hitam itu tontonannya. Padahal, tontonannya cuma stimulus kecil saja. Stimulus besarnya ya karena ia punya masa kecil yang suram, tinggal di lingkungan toxic, dan juga punya trauma masa lalu yang mendalam. Dosen saya aja pernah bilang bahwa teori jarum hipodermik ini katanya sudah usang dan gak relevan di zaman sekarang.

Baca juga: Aneh Sampai Tua, Ketika Kecerdasan Intrapersonal 0 Besar

Jangan Lupakan Akal Budi dan Proses Berpikir!

Saya yakin, setiap manusia pastinya punya logika dan akal budi. Manusia bukanlah mesin yang gak punya pikiran, yang manut saja terhadap apa yang ia lihat tanpa proses berpikir di dalam otaknya. Selama hidup, manusia pasti mempelajari norma-norma agama, budaya, dan moralitas yang ia jadikan standar berperilaku dalam hidup.

Orang-orang yang otaknya beres pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang boleh dilakukan pada gim, mana yang tidak boleh dilakukan di luar dunia gim. Mereka tidak akan melakukan tindakan yang mereka saksikan lewat film di dunia nyata. Mereka pun tidak akan melakukan tindakan yang mereka saksikan lewat gim tersebut di dunia nyata.

Kalau ada orang yang melakukan tindakan kekerasan setelah nonton film atau main gim, artinya lingkungannya di dunia nyata yang bermasalah, orang tuanyalah yang gagal mendidiknya, ataupun memang ia punya kelainan mental yang tidak diatasi dengan penanganan profesional.

Dulu saya memainkan gim Grand Theft Auto III saat saya duduk di kelas 4 SD. Sekuelnya, Grand Theft Auto: Vice City pun saya mainkan 2 tahun kemudian. Demikian juga Grand Theft Auto: San Andreas yang saya mainkan saat saya SMP. Grand Theft Auto IV dan gim-gim lainnya pun tetap masih saya mainkan sampai sekarang dan saya gak pernah melakukan tindakan kriminal seperti yang dituduhkan orang-orang selama ini.

Baca juga: Stanislav Petrov: Ketika Kemampuan Berpikir Bisa Menyelamatkan Dunia

Penutup

Kesimpulannya, tindakan kekerasan yang anak-anak anak-anak dan remaja lakukan bukan karena film maupun gim bertemakan kekerasan, tapi justru pengaruh lingkungan, orang tua yang gagal membimbing anak-anaknya, maupun pengalaman masa lalu anak-anak dan remaja tersebut yang tidak menyenangkan yang jadi penyebabnya. Jadi, hentikanlah stigma yang menyimpulkan bahwa gim memicu tindakan kekerasan yang anak atau masyarakat lakukan!

Artikel ini juga terbit di wisnu93.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini