Waktu Baca: 2 menit

Hari ini kita mau bicara tentang hubungan intim atau seks dalam cerita. Cerita ini bisa bermacam macam ya, bisa dalam film, novel atau series. Bukan karena saya penulis cerita dari Indonesia lalu saya bilang adegan seks itu tidak sepenting itu, tapi menurut saya seks dalam cerita itu harus ditambahkan dengan kehati hatian tinggi. Kenapa? Jatuhnya mungkin cerita yang kamu buat kehilangan makna dan malah menjadi produk erotis layaknya film ena ena.

Contohnya? Sudah cukup banyak. Kita bisa melihat 50 Shades of Grey sebagai film ena-ena daripada membahas psikologi seorang perempuan yang mengalami kisah cinta yang aneh. 50 Shades of Grey bahkan jatuh menjadi film murahan dengan embel film ena-ena, tapi nanggung. Mau dibilang pornografi kok cuma segitu. Mau dibilang nggak porno juga nggak mungkin. Tapi ya faktanya seperti itu. Lalu akhirnya jadi apa? Produk yang sensasional tapi minim makna.

Guna Seks Dalam Cerita

Biasanya hubungan intim atau seks dalam cerita itu adalah cara kita menunjukkan perkembangan hubungan karakter. Dari yang sebelumnya berteman mungkin, lalu mulai menjalani hubungan yang romantis. Itu adalah salah satu target dari adanya hubungan intim. Tapi seringkali juga, seks dalam cerita itu ditampilkan secara implisit saja. Ya misal pelukan, mulai tarik tarik baju, lalu kita potong. Kenapa begitu? Ya karena fungsinya cuma segitu.

Baca juga : Gisel Dipecat Dari Cek Toko Sebelah 2 ? Inilah Deretan Artis Yang Diganti Dalam Peran Mereka!

Hanya saja, kalau di film, ada tuntutan standar rating. Supaya film bisa masuk ke semua umur, seringkali tidak ada hubungan seks untuk menunjukkan keintiman namun akan ada penggantinya. Ciuman saja itu sudah menunjukkan perubahan karakter dari biasa saja jadi romantis. Biasanya, untuk orang Asia, ciuman itu bahkan lebih dalam maknanya daripada hubungan seks. Beberapa menganggap bahkan ciuman dahi jauh lebih ‘ngena’. Karena itulah kalau saya nih, kecuali kebutuhan mendesak, jarang menaruh seks dalam cerita yang saya buat. Takutnya ya produk saya jadi erotis, sensual, bukan sesuai makna yang mau saya dapatkan.

Aliran Eksplisit

Tapi ya ada, sutradara seperti Lars von Tier ataupun Bernardo Bertolucci yang tidak segan segan menggunakan adegan seks eksplisit dalam membangun cerita yang mereka mau. Menurut saya mereka patut kita hormati karena mereka ini bagian dari new wave di Perancis yang berani menabrak norma norma. Saya bisa bilang mereka ini kelompok post-constructivist laah. Mereka menabrak rambu rambu atau bingkai norma yang ada di masyarakat seperti bahwa ketelanjangan itu tabu, hubungan seks pranikah itu tabu dan seterusnya. Ya mereka mempertanyakan, karena tujuan mereka mempertanyakan, ya wajar kalau mereka nantang.

Baca juga : Cerita Rasanya Menjadi Mahasiswa Muslim di Kampus Katolik: Dari Disebut Tidak Taat Hingga Ingin Murtad

Sementara saya sendiri lebih ke spiritualis. Menggali makna hidup tanpa harus melawan apa yang kita sebut sebagai bingkai kebenaran. Buat saya ya monopoli kebenaran harus kita lawan, setuju. Tapi di saat bersamaan mengoreksi internal kita sendiri tidak kalah pentingnya. Namun lagi lagi, semua orang itu punya pilihannya sendiri dalam menyajikan dan mendesain cerita mereka.

Tips Menggunakan Seks Dalam Cerita

Jujur saya bukan orang yang terbaik untuk memberi tips ketika memasukkan unsur seks dalam cerita kita. Kalau menurut saya, sebaiknya hati hati, pahami apa yang mau kamu lakukan dan jangan sampai mengaburkan tujuan awalmu menulis cerita. Aku yakin penulis yang baik gak cuma ingin cerita yang ia tulis menjadi sensasional. Ia ingin agar ceritanya mampu mengetuk hati orang, menggali kedalaman dan mampu membawa orang ke pemikiran pemikiran selanjutnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini