Waktu Baca: 4 menit

Ini merupakan salah satu pengalaman di masa remajaku yang cukup menyeramkan saat itu, namun dapat mengundang tawa tiap kami berkumpul dan bernostalgia menceritakannya kembali. Pesan moral dari kejadian ini adalah jangan mengganggu Angsa. Mau tahu kenapa? Yuk simak.

Berawal Dari Persahabatan

Kami,–aku dan kawan-kawanku tumbuh bersama di sebuah komplek yang terletak di kaki sebuah gunung di daerah Jawa Barat. Seperti umumnya hawa pegunungan yang sangat dingin, begitu pula hawa di sekitaran tempat tinggal kami, bahkan pukul 5 subuh pun masih gelap dan berkabut.

Namun keadaan tersebut tidak menghalangi kami untuk selalu sholat subuh berjamaah di masjid komplek kami. Tentu saja, alasan utamanya ialah karena kami memiliki kesempatan bermain selepas sholat subuh berjamaah tersebut, terutama jika hari Minggu saat kami semua libur sekolah. Semakin beranjak remaja, kebiasaan kami bermain berubah menjadi “olahraga pagi” atau joging istilahnya.

Sekitar pukul 5 selepas solat subuh, kami segera pulang, setelah merencanakan joging dari komplek kami ke komplek yang letaknya di atas komplek kami. Jarak komplek yang masih terbilang baru tersebut tidak terlalu jauh dari jarak komplek kami karena masih berada di dalam kampung yang sama, hanya saja jalanannya menanjak dan berliku-liku menjadi seakan jauh dan itu cukup untuk melatih fisik kami yang terbilang ceking.

Lain halnya dengan temanku, niatnya bukan lain adalah mencari gadis-gadis manis penghuni komplek tersebut. Dan katanya lagi, banyak ibu-ibu muda manis yang bersenam zumba di tengah lapang disekitaran komplek baru tersebut.

Terlepas dari semuanya, kami hanya ingin menghirup udara segar yang belum tercemar oleh apapun, sebab motor ataupun mobil masih jarang melewati jalanan di depan komplek di kampung tersebut, sebab komplek kami dan komplek baru yang hanya terpisahkan oleh ladang, penghumaan, sawah-sawah dan kebun-kebun pohon jati tersebut berada di kaki gunung, dan makin ke atas kami akan sampai di sebuah hutan yang entah apa namanya. Orang-orang setempat menyebutnya leuweung pamiceunan, dalam bahasa artinya hutan pembuangan.

Kisah Awal Mula Kami berhenti Mengganggu Angsa…

Aku sendiri menunggu teman di gerbang komplek, tepat pukul setengah enam dia terlihat berlari kecil ke arahku, semakin mendekat wajahnya semakin jelas terlihat, begitu juga dengan senyumnya yang diarahkan langsung padaku. Kami sedikit berbasa-basi mengenai penampilan kami yang ala kadarnya. Seperti halnya daerah pegunungan, matahari akan selalu telat memunculkan diri karena sinarnya terhalang oleh pepohonan yang rimbun, seolah-olah pucuk-pucuknya menunjuk dengan berani ke arah matahari, begitu pongahnya. Pada akhirnya, pagi di kampung ini seperti pukul 5, dan pukul 5 tadi seperti pukul 4 atau pukul 3. Ditambah dengan kabut yang seakan membentuk wujud-wujud ganjil.

Kami tidak menghiraukan wujud-wujud ganjil dari kabut tersebut, sebab pikiran kami adalah joging ke komplek baru tersebut, melihat temanku menggoda gadis-gadis manis, sembari cari-cari tempat yang nyaman agar bisa melihat jelas mereka-meraka yang bersenam zumba. Kami pun joging beriringan, sedikit-sedikit menghirup hawa dingin yang menyegarkan kepala. Di pinggir kiri dan kanan jalan yang kami lalui masih terasa ngeri, sebab tidak terlihat apapun disitu, hanya kabut yang pekat menutupi apa yang ada di dalamnya. Namun kengerian itu tidak kami indahkan dan kami terus berlari-lari kecil diiringi suara hewan di subuh hari.

Entah kenapa kabut lebih tebal daripada biasanya, padahal ini bukan kali pertama kami melewati jalan ini dan berjoging ria ke komplek sebelah atas. Keheningan seperti mengunci mulutku dan begitu juga temanku. Tetap saja semuanya masih rasa wajar oleh kami, sebab tempat ini berada di kaki gunung. Suara yang hening kala kami sedang joging mulai sedikit riuh oleh suara-suara yang dikenal akrab oleh kami, dan sedikitnya kami merasa lega sebab suara tersebut adalah suara angsa; sebagian besar dipelihara oleh penduduk setempat selain itu, mereka juga memelihara unggas lainnya disamping kerbau, domba dan kambing.

Riuh suara-suara angsa mulai meredup dan hanya menyisakan satu suara angsa yang agak sedikit nyaring,

“hoangk… hoangk… hoangk…”

Wah ini nih si Angsa menyebalkan, Kami jadi ingin mengganggu angsa satu ini

Temanku menghentikan larinya dan memandang padaku. Aku balas memandangnya dan kemungkinan pemikiran kita sama; di kabut yang tebal, jarak pandang terbatas, dan di depan kami angsa yang lumayan cukup semok membelakangi dan menghalangi kami.

Masalahnya, kejaran seekor angsa sama dengan anjing yang akan mengejar jika ada yang mengganggunya, dan tidak akan berhenti sebelum korbannya kena patuk, sementara patukan seekor angsa cukup menyakitkan. Lebih parah daripada patukan seekor ayam. Namun itu tidak berlaku untuk temanku, dia segera mengucapkan mantra pengusiran standar untuk hewan berjenis unggas.

“Hush… Hush… Huuussh…” ujarnya. Angsa yang tengah membelakangi kami seperti tidak terpengaruh dengan pengusiran temanku itu. Aku pun segera membantu, “hush! Hush…” tetap saja angsa tersebut tidak bergeming dan tetap mengacuhkan kami. Entah kenapa, keseruan untuk mengusir angsa tersebut mulai muncul, kamipun mulai ingin mengganggu angsa semok yang cuek tersebut. Temanku mulai mendorong angsa tersebut dengan kakinya.

“Hoangk! Hoangk…!”

Angsapun Marah Karena Kami Mengganggu Dia

Suaranya sedikit agak lebih nyaring dari sebelumnya. Belum puas sampai disana, temanku mulai mendorong angsa semok itu dengan dorongan yang agak lebih kuat. Namun menurutku itu bukan dorongan, tapi tendangan. Angsa semok tersebut mulai bereaksi dengan terus mengeluarkan suara khasnya, “hoangk… hoangk… hoaaangk…” – sayapnya mulai dikembangkan dan tubuhnya sedikit memutar. Aku segera memungut batu-batu kecil, berjaga jika sewaktu-waktu angsa semok tersebut mengejar kami, maka akan kulempar kerikil dalam genggaman ke arahnya.

“Hoaang… hoaaangk! Hoangk…”

Aku dan temanku; tertegun melihat angsa semok dihadapan kami, dimana sebagian tubuhnya masih tertutup kabut, ditengah ketidakjelasan pandangan, kami masih melihat tubuh angsa tersebut sudah tidak membelakangi kami lagi, dan sayapnya terbuka lebar, sementara kakiknya kokoh menjejak jalanan berkabut dan kepalanya, kenapa kami belum melihat kepalanya? Sementara suaranya masih tetap terdengar nyaring.

““Hoaangk… hoaaangk! Hoangk…”

Kami berdua mendekat, sedikit menjaga jarak – kabut mulai memudar, batang-batang cahaya menyeruak diantara aku, temanku dan angsa semok yang sudah mulai terlihat jelas. Suara khas angsanya hilang, tergantikan suara ganjil; sedikit memekik dan sedikit cekikikan mengejek kami, suaranya seolah jauh. Sementara itu leher panjang khas seekor angsa meliuk-liuk di depan kami, ditambah ada rumbaian rambut hitam panjang luruh dari kepalanya yang bukan kepala angsa; namun kepala manusia, dan bibirnya bukan lagi mengeluarkan suara angsa, namun mengikik sangat kecil, gigi-giginya yang hitam ia pamerkan kepada kami. Dan kedua bola matanya yang agak menonjol memandang tajam ke arah kami.

Aku tidak mendengar teriakan temanku, yang kulihat dia hanya membuka mulutnya lebar-lebar sambil balik badan dan berlari kencang, diikuti olehku yang juga terus berlari di jalanan lengang yang sudah tidak berkabut sambil diiringi suara kikik-kan seolah terus-menerus menempel digendang telinga kami: “kikik, kikik, kikikikik… kikikikikik… kikik, kikikikik…”

Sudahlah, kami berhenti mengganggu Angsa sejak saat itu.

Gambar oleh Pixabay

Baca juga :

Mencari Pengakuan Hak Hewan di Mata Manusia

Kekejaman Pada Hewan Yang Tidak Berguna

Hak Hewan Itu Apa? Sebuah Perkenalan

 

 

 

 

 

 

7 KOMENTAR

  1. ihhh serem, angsa atau soang di bahasa Sunda nya emang hewan yg agak” gimanaaa gitu, apalagi suka banget ngejar” buat matok…

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini