Cinta, dan cemburu. Dua perasaan emosional yang saling berkaitan. Karna katanya kalo tidak cemburu artinya tidak cinta. Jadi, jika pasanganmu sangat pencemburu, maka sebesar itulah cintanya padamu. Tapi siapa sih yang mau kena santet gara gara selingkuh?
Yang akan kukisahkan, adalah kisah yang menimpa keluargaku. Kisah kena santet gara gara selingkuh atau isu perselingkuhan mungkin. Kisah panjang yang diturunkan dari moyangku yang bahkan tak pernah kutemui karna sudah meninggal saat aku masih bayi.
Sebelumnya biar kuperjelas keterkaitan kisahku ini erat dengan tema yang kupilih, yaitu kecemburuan.
Sejujurnya aku tak begitu percaya hal-hal berbau mistik apalagi sampai masalah kena santet gara gara selingkuh, takhayul, atau mitos-mitos tak jelas yang konon katanya. Aku lebih suka hal yang masuk akal, bisa dicerna logika, dan jelas terlihat buktinya. Jadi kena santet gara gara selingkuh itu agak gimana gitu buatku.
Tapi Kenyataannya Berbeda!
Namun bisa dikatakan juga aku harus memercayainya. Karena aku pun pernah diberikan kesempatan untuk melihat, mendengar, dan merasakan keberadaan diluar nalar itu sendiri.
Sejak kecil, aku tinggal bersama nenek dan Buna karena ditinggal kerja orang tua. Buna adalah kakak tertua dari ayahku. Dan ayahku adalah anak kedua. Mereka lima bersaudara, dan Buna satu-satunya anak perempuan nenek.
Buna tidak bisa melihat, beliau buta total. Bisa aku katakan, kerjaannya sehari-hari hanya berdiam diri di kamar. Bahkan tak pernah ke halaman atau teras sekalipun. Kukira ini hanya cacat biasa, ternyata bukan, ada mahluk yang menyebabkan dia cacat. Sesosok mahluk yang mengerikan.
Pertemuan Pertama
Saat itu aku masih berumur enam tahun. Itulah Pertama kalinya aku bertemu dengan mahluk itu. Mahluk yang tak ingin kujelaskan wujudnya, namun masih saja teringat jelas di dalam ingatanku. Pokoknya mahluk mengerikan itu berhasil membuatku tak berkutik bahkan tak bisa menggerakkan tubuhku sendiri hanya dengan menatapnya.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan mimpi. Hingga saat ia menyeringai sambil menatap bringas ke arahku, disitulah aku menjerit ketakutan. Jeritanku itu membangunkan seisi rumah, hingga membuat Buna pun terbangun.
Namun anehnya Buna langsung berteriak ke arah apa yang kulihat, “jangan ganggu anak ini! Ganggu saja aku sepuasmu!” Dengan jelas aku mendengarnya. Yakinlah aku bahwa itu bukan sekedar mimpi.
Setelah melihat mahluk itu, tiba-tiba penglihatanku yang jernih seketika menjadi buram. Namun aku tak mengungkit soal itu lantaran Buna seolah enggan menjelaskannya.
Sampai beberapa tahun kemudian, penglihatanku semakin memburuk. Akupun memeriksakannya ke optik. Dan ternyata setiap tahun minus matanya bertambah. Bahkan juga semakin bertambah parah lantaran seringkali aku kecelakaan dan membuat mataku cedera.
Suatu sore tiba-tiba saja dari arah lapang sebuah batu bata putih terlempar ke wajahku hingga kepalaku bocor dan hidungku patah. Kulihat sekilas seorang anak sebayaku berlari saat menyadari aku terjatuh berlumuran darah.
Aku yakin itu cuma kebetulan, jadi aku mengatakan pada keluargaku bahwa aku terjatuh ke atas batu berujung tajam. Sekedar menenangkan mereka. Dan menutupi apa yang kulihat tadi. Manusia ataupun bukan, aku enggan membuat keluargaku khawatir.
Yang kedua, mataku tertimpa jendela yang tiba-tiba terbuka saat aku berlari melewatinya. Aku yakin tak ada siapapun di balik jendela itu. Namun hasilnya, sebelah mataku bengkak membiru.
Yang ketiga, aku tertabrak oleh seseorang atau mungkin sesuatu, yang sampai sekarang aku tak tahu siapa dia. Yang terakhir itu bahkan membuat bibirku sobek karna terlempar ke sudut tembok dengan keras.
Dengan penasaran aku pun diam-diam mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Karna aku yakin ada sesuatu yang sedang mengancam keselamatanku.
Penyelidikan…
Untuk anak usia 9 tahun kala, aku merasa cukup bijak karna tak sedikitpun aku mengandalkan para orang tua dan keluargaku yang seperti menyembunyikan sesuatu. Namun diluar dugaan, Buna menceritakan semuanya padaku.
Buna bilang dia tidak buta dari lahir. Beliau pernah memiliki penglihatan yang normal hingga saat duduk di bangku kelas tiga SMP, tiba-tiba penglihatannya lenyap secara tiba-tiba.
Mungkin aku tak akan percaya jika saja ia tak mengatakan bahwa sudah dua kali dia melakukan operasi mata untuk mengembalikan penglihatannya. Namun dokter manapun tak menemukan penyakit di matanya yang secara fisik, normal tanpa cacat sama sekali.
“Tapi kenapa mata Buna jadi seperti ini?” tanyaku sambil melihat kedua matanya yang selalu tertutup, mencekung, dan besar sebelah. Buna pun melanjutkan ceritanya.
Dia bilang itu karena banyak ritual yang dia lakukan. Karena putus asa berobat ke dokter, nenek dan almarhum kakek membawa Buna ke alternatif lain. Mulai dari Kiai, utsadz tersohor, bahkan dukun termasyur kala itu. Yang tentunya hal itu menghabiskan harta kekayaan orang tua buna yang kala itu adalah salah satu orang terkaya di daerahnya.
Namun hasilnya nihil, hanya menyisakan cacat fisik di matanya. Salah satu ritual yang paling berbahaya yang pernah ia lakukan adalah memasukkan uang logam ke dalam kelopak matanya, hingga berendam di bawah air terjun di malam hari sendirian.
Namun Buna mengatakan bahwa sebelum mata fisiknya menjadi cacat seperti itu, ia juga pernah bisa melihat dua kali. Yang pertama, hanya beberapa menit. Dan yang kedua sehari penuh sebelum akhirnya buta kembali.
Yang mengejutkannya hingga membuatnya hampir putus asa adalah, orang yang mengobatinya meninggal keesokan harinya. Dan Buna pun buta kembali.
Jelas aku tak percaya begitu saja. Meski ada rasa takut yang seketika menjalar ditubuhku. Namun aku orang kukuh yang tak bisa mengerti hal diluar nalar begitu saja.
Mencoba Pengobatan Baru…
Buna pun kembali melakukan pengobatan. Kali ini secara keagamaan. Mungkin sekedar ingin membuatku percaya apa yang tengah menimpanya. Karna kulihat Buna tak begitu antusias dengan pengobatan yang ia lakukan seolah ia tahu hasilnya akan nihil.
Buna meminta bantuan seorang kiyai tersohor untuk merukiyahnya dari jauh. Dan aku melihatnya sendiri. Dari sudut rumah keluar asap putih tebal yang menyeruak dari dalam kaset rukiyah. Aku pun terenyak dan hampir saja pingsan.
Tentu saja hasilnya nihil seperti dugaan Buna. Tapi rasa penasaranku malah semakin menjadi. Tentang apa yang menyebabkan hal itu?
Si Pengirim Santet
Buna pun menceritakan lagi. Bahwa semua itu adalah kutukan dari seseorang. Seorang pria yang merasa dikhianati oleh istrinya. Pria itu mengira istrinya berselingkuh dengan almarhum kakekku. Jadi pria itu mengirim santet yang teramat kuat, ditambah dendam dan rasa sakit hatinya ke keluargaku.
Meski orang-orang membujuknya untuk tak melakukan hal itu (santet), namun pria itu bersikukuh. Ia lebih suka melihat keluarga kakekku mati ketakutan oleh keputusasaan dari pada membunuhnya secara langsung.
Dengan terang-terangan pria itu mengakui bahwa ialah yang mengirim kutukan itu. Bahkan ia ingin keluarga kakekku merasakan santet itu hingga tujuh turunan. Barulah ia merasa tenang bahkan jika harus menjual jiwanya sendiri pada iblis.
Dendamnya mungkin saja berkurang saat melihat almarhum kakekku perlahan digerogoti penyakit yang tak bisa dijelaskan hingga membuatnya meninggal. Namun aku yakin bisikan iblis membuatnya tetap meneruskan dendam itu.
Sejak Buna mengatakan semuanya, jelas aku semakin berhati-hati. Setiap hari harap-harap cemas diliputi rasa ketakutan. Namun demikian, sebagai seorang muslimah, baiknya aku memasrahkan segalanya kepada yang Maha Kuasa seperti yang selalu Buna katakan.
Mulai Lupa…Tapi..
Hampir saja aku melupakan tragedi yang menimpa keluargaku. Hingga suatu ketika, saat aku duduk di bangku SMP, tiba-tiba sepupu lelakiku pulang dengan keadaan setengah tak sadarkan diri lalu berlari ke kamar sambil meracau-racau. “Mataku tak bisa melihat!” serunya berulang-ulang.
Ternyata sepupuku habis kecelakaan yang akhirnya kehilangan sebelah penglihatannya. Dokter tak bisa mengembalikan sebelah penglihatannya, jadi sampai sekarang matanya buta sebelah.
Tak lama dari kejadian itu, ibu dan ayahku kembali dan keluarga kami bertambah dengan kehadiran adik laki-lakiku.
Saat adikku berusia 3 tahun, dia sering dimarahi ibu jika dekat-dekat dengan Buna. Namun karena Buna adalah wanita yang mengasuhku, jadi aku sering merasa kesal pada ibu. Akupun sering membawa adikku untuk bermain di kamar Buna tanpa sepengetahuan ibu.
Namun saat pulang dari rumah Buna, tiba-tiba adikku menangis terus sambil menggesek-gesek matanya. Ibu pun memarahiku. “Inilah sebabnya aku tak mau mendekatkannya dengan wanita itu!” ujar ibu.
Dengan penuh amarah ibu membawa adikku yang tak berhenti menangis ke rumah sakit. Dan pulang dengan keadaan lesu. Ibu bilang adikku harus di operasi karna ada sesuatu yang menancap di dalam bola matanya. Dan kami saat itu sudah tak punya kekayaan jadi tentu tak sanggup membayar biaya operasi
Penyesalan
Sungguh aku menyesal tak mengasuhnya dengan baik. Namun dengan penuh kesadaran aku hanya menyarankan ibu dan keluargaku untuk terus berdoa dan jangan pernah meninggalkan sholat. Hanya itu.
Alhamdulillah, beberapa bulan kemudian doa kami terkabul. Benda itu keluar dengan sendirinya dari mata adikku. Benda hitam berujung runcing yang tak mungkin berada di dalam kamar yang bersih. Tapi kami tak heran akan hal itu. Bahkan beling dan paku pun pernah keluar dari mata Buna.
Keluarga kami pun kembali damai meski sesekali masalah datang. Kami memasrahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Namun sama halnya dengan malaikat, setan pun tak pernah berhenti menggoda.
Tibalah masalah terberat datang menimpa kami. Warisan yang tak seberapa harganya, dan kecemburuan akibat kedekatan ibu dan pamanku, menggelapkan mata ayah dan para pamanku.
Kupersingkat cerita dengan kematian Buna dan nenek yang mendadak. Itu terlalu menyakitkan bagiku. Hal itu tak kuketahui karna aku sudah menikah. Namun ibu bilang mereka meninggal dengan sedikit tidak wajar. Penyakit yang sama dengan almarhum kakekku.
Masalah Datang Lagi
Masalah warisan berkurang namun masalah lain datang. Ayahku berseteru dengan paman ketiga akibat kedekatannya dengan ibuku. Ayah pun meninggal tepatnya Februari tahun ini.
Dokter bilang serangan jantung, namun aku yakin satu-satunya penyakit nyata yang ayah derita hanya radang paru-paru. Disusul kematian paman ketiga yang juga tiba-tiba dan misterius dua bulan kemudian.
Tinggal dua keturunan pertama kakek, yaitu paman ke empat dan kelima. Namun kini keluarga mereka semakin kacau. Bahkan warisan itu mereka jual dan gunakan sendiri tanpa melibatkan ibu dan aku.
Kedua pamanku itu masih hidup dengan baik, tapi istri-istrinya meninggal dengan tidak wajar. Pembusukkan ditubuh mereka, akibat gula darah. Dan bagiku tak ada hal yang lebih menyedihkan dibanding ditinggal pasangan hidup.
Sampai Tidak Mau Menikah…
Pada awalnya aku sebenarnya tak mau menikah karna mitos santet dikeluargaku itu. Aku takut aku hanya akan mewariskan dendam dan kesialan saja. Namun untuk pertemuan keduaku dengan mahluk itu, aku sempat berhasil membuatnya lari terbirit-birit hanya dengan membacakan ayat-ayat suci.
Jadi hal yang kuyakini kini bahwa tidak ada satu mahluk pun yang lebih berbahaya ke manusia. Mereka (mahluk gaib) hanya alat penyokong nafsu manusia. Pada dasarnya, sebenarnya manusia jauh lebih kuat dari mereka.
Yang membuat mereka kuat adalah emosi manusia itu sendiri. Dendam, amarah, dan kedengkian yang besarlah yang membuat mereka memiliki kekuatan. Semakin manusia takut, gelisah dan ngeri terhadap mereka, semakin kuatlah mereka.
Pesan Penting
Amanat yang ingin kusampaikan dari rentetan musibah yang datang bertubi-tubi dan pengalaman kena santet di keluargaku adalah, bahwa janganlah sekali-kali memasrahkan kesadaran kalian pada mereka*. Kuatkan iman, sebagai pondasi dari hawa nafsu sendiri.
Aku tidak menyalahkan pria pengirim santet itu. Aku yakin tak akan ada asap jika tak ada api. Tak mungkin amarahnya begitu meluap hingga membutakan dirinya jika tak ada pemicunya.
Meski tak tahu kisah sebenarnya, aku yakin kakek juga berbuat salah dengan menerima istri pria itu dan membuatnya cemburu buta begitu.
Cinta dan cemburu buta pria itu, dan kebutaan keluargaku sendirilah yang membuat kami buta. Mereka selalu membela kakek dan menutup mata mereka sendiri dari bukti yang nyata. Maka karma pun ikut serta membantu membalaskan dendam pria itu yang menggunakan santet untuk memberi pelajaran pada kami.
Gambar Oleh : Noelle Otto
Baca juga :
Mengenal Sisworo Gautama Putra: Tokoh di balik Pengabdi Setan dan Legenda Film Horor Indonesia
Sama Seperti Gendam, Pelet Juga Berbahaya
Merinding membaca kisah ini
Benar-benar prindang prinding ini kalo melihat kejadiannya secara langsung.
Waduuuh… Orang sakit hati, dan gak punya iman, akhirnya nekat kerjasama ama si demit apapunlah itu;
Benar sekali. harus mawas diri