Ingatan soal mahasiswa UNY yang meninggal setelah berjuang untuk bisa membayar uang kuliah masih kental di ingatan kita. Kondisi ini benar-benar miris. Pendidikan yang harusnya menjadi ladang agar siswa memiliki masa depan, sekarang justru malah merenggut masa depan anak itu sendiri. Kasus ini juga memunculkan banyak pertanyaan soal kenapa biaya kuliah mahal, sampai harus ada mahasiswa yang menjadi korban? Mungkin kamu juga bertanya demikian kan?
Banyak hal yang bisa kita salahkan atau benahi soal sistem uang kuliah ini. Salah satu kesalahannya terletak di kampus itu sendiri tapi di saat yang bersamaan kita juga bisa memahaminya.
Kampus Ibarat Orang yang Hanya Punya Satu Telur
Dari mana asal pendapatan dari kampus? Jawabannya jelas sebagian besar hanya dari uang kuliah. Sebagian besar kampus memang hidup tergantung pada “satu telur” ini. Jika saja uang kuliah yang ada terganggu, kampus akan terus menjaga agar satu-satunya sumber makanan mereka tidak terganggu.
Inilah juga yang menjadikan pemotongan uang kuliah baik itu SKS atau UKT susah untuk dilaksanakan. Jika saja satu-satunya telur mereka pecah, kampus sudah tidak punya biaya lagi untuk menggaji karyawan, dosen serta memberikan fasilitas kepada para mahasiswa.
Satu-satunya telur yang kampus miliki untuk makan ini juga memiliki beban yang sangat besar, salah satunya adalah inflasi. Coba bayangkan saja jika inflasi terjadi, dan kenaikan UMR pun mengikuti sebagai akibatnya, gaji dosen dan karyawan juga perlu naik bukan? Ketika gaji dosen dan karyawan naik, mau nggak mau pihak kampus mengakalinya dengan satu-satunya jalan yaitu menaikkan harga uang kuliah, jangan sampai telur mereka pecah akibat beban gaji yang terlalu besar daripada pendapatan.
Kenaikan ini merupakan tanggungan berat para mahasiswa terutama mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Mereka sudah mendapatkan masalah dengan inflasi, uang kuliah pun ikut membuat mereka babak belur.
Mulai Memiliki Beberapa Telur
Salah satu kunci untuk menyelesaikan masalah uang kuliah yang mahal adalah dengan menambah jumlah telur yang kampus miliki untuk makan mereka sehari-hari. Jumlah telurnya boleh beragam berdasarkan kebutuhan kampus. Kampus bisa menambah 2 telur, bisa menambah 3 telur, atau jika mampu, memiliki hingga 10 telur.
Telur-telur ini harus diingat sebagai representasi pendapatan kampus. Jika 1 telur terganggu (pendapatan dari uang kuliah mahasiswa) maka telur-telur lain siap menjadi serep agar keuangan kampus tidak terganggu.
Kampus jika kreatif dan memiliki jiwa bisnis bisa membuka banyak sekali peluang-peluang baru untuk mendapatkan pendapatan. Sebut saja seperti penyewaan gedung secara masif, penyewaan lahan untuk orang luar kampus bahkan kampus bisa berkolaborasi dengan masyarakat bahkan mahasiswa itu sendiri untuk berswadaya membuat bisnis yang kekinian seperti cafe yang berada di luar lingkungan kampus bahkan kampus yang memiliki program studi biologi atau pertanian bisa mulai berbisnis kebun baik itu hidroponik atau konvensional.
Jika kampus memiliki “gurita” bisnis yang berisi orang-orang yang memahami dan belajar bisnis, termasuk mahasiswa, bukan hanya kampus saja yang untung. Sebagai salah satu anggota keluarga kampus, mahasiswa juga bisa diuntungkan dengan adanya pendapatan karena bekerja di ladang yang kampus buat.
Dengan adanya bisnis yang merupakan “telur-telur” lain, jika pendapatan dari uang kuliah bermasalah, masih ada telur-telur lain yang bisa digenjot pendapatannya agar kampus tidak perlu menghadapi dilema soal uang kuliah.
Baca juga: Benarkah Tahun 2023 Kita Akan Miskin?
Pengurangan SKS
Rata-rata jumlah SKS yang harus mahasiswa ampu untuk bisa mendapatkan gelar S1 adalah 140-an SKS. Angka 140-an SKS ini benar-benar akan menyita waktu mahasiswa yang juga mendapatkan tuntutan dari dosen-dosen agar tetap lulus tepat waktu berbarengan dengan pasar tenaga kerja yang mulai menginginkan fresh graduate yang memiliki pengalaman bekerja termasuk magang. Belum lagi mereka yang juga harus banting tulang karena harus mencari pundi-pundi uang gara-gara berasal dari keluarga yang nggak mampu. Dengan melihat realita ini, kampus harus terus bersinergi dengan pemerintah untuk mulai mengkritisi jumlah SKS yang harus mahasiswa tempuh agar mendapatkan S1.
Sebenarnya, pemerintah lewat Mas Nadiem Makarim sudah membuat terobosan yang menurut saya oke, yaitu Magang Merdeka Belajar. Magang ini setara dengan 20 SKS. Saya sangat mendukung program ini karena memberikan mahasiswa keringanan agar bisa belajar praktek di dunia kerja.
Tapi, pertanyaannya sekarang, apakah iya mahasiswa punya kesempatan yang sama untuk ikut magang Merdeka Belajar? Kan enggak. Beberapa dari mereka butuh keringanan jumlah SKS bukan hanya untuk magang, tapi juga untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi kelangsungan hidup mereka.
Andaikata pemerintah dan kampus bersinergi agar mau membuang makul-makul yang sudah nggak relevan, mahasiswa yang terpaksa harus bekerja demi keluarga juga mendapatkan keringanan yang luar biasa. Mereka sudah nggak perlu mepet-mepet waktu dan menguras energi demi uang dan demi IPK. Mereka yang terpaksa harus bekerja bisa me-manage energi serta waktu yang jauh lebih baik lagi.
Kalau mau tetap mempertahankan angka 140-an SKS, toh jika tidak malu berkaca, berapa sih makul yang relevan untuk dunia sekarang? Coba deh dipikir.
Penutup
Jawaban dari pertanyaan “Kenapa Biaya Kuliah Mahal?” sudah terjawab. Sekarang tinggal bagaimana kampus dan pemerintah benar-benar mau melihat kebutuhan gaji dosen dan karyawan, serta ruang untuk mahasiswa bernafas.
Sebenarnya masih ada satu cari lagi untuk membantu mahasiswa agar tidak memikul beban uang kuliah yang berat. Kalian bisa baca di link yang saya cantumkan di bawah pada bagian “baca juga”.
Baca juga: CSR Perusahaan: Aspek Penting yang Sering Diabaikan dalam Keputusan Investasi Saham
Foto oleh Kat Smith
[…] Kenapa Biaya Kuliah Mahal? Ini Alasannya serta Solusi yang Bisa Dilakukan Oleh Kampus-kampus […]