Autobiography jadi salah satu film yang cukup jadi perbincangan. Film garapan Makbul Mubarak ini memiliki makna yang mendalam. Buat beberapa orang, cerita Rakib dan calon bupati, Purna, sangat berkesan karena cukup kompleks.
Selain itu, Autobiography ini juga penuh makna, termasuk makna-makna politik yang ada di dalamnya. Lewat film ini kita bisa belajar soal kompleksnya para politikus bahkan di level bupati sekalipun.
Menarik bukan? Namun, meskipun menarik, film ini punya kekurangan yang menurutku cukup menganggu.
Nah kira-kira seperti apa review-nya. Begini review film Autobiography yang baru saja tayang dan kemungkinan masih ada di bioskop saat tulisan ini diunggah.
Sukses Menampilkan Dua Wajah Politikus
Autobiography mencertikan seorang purnawirawan TNI bernama Pak Purna. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, jalan hidup seorang purnawirawan TNI bisa tertebak. Setelah selesai di masa baktinya, Pak Purna, layaknya TNI pada umumnya terjun di dunia politik.
Pak Purna sukses menjadi representasi kompleksnya seorang politikus. Dia bisa menjadi orang yang ramah di depan keluarga dan masyarakat, tapi menjadi pribadi yang bringas di belakang layar.
Selain itu, dua wajah seorang politikus juga sukses film ini cerminkan lewat kepribadian gelap lainnya dari Pak Purna si Calon Bupati. Dia bukan hanya seorang yang mengerikan tapi juga memiliki sisi gelap soal hasrat seksual yang dia pendam selama ini karena jika terendus, maka namanya akan hancur.
Eit, bukan berarti semua politikus punya kekejian dan hasrat seksual yang aneh seperti Pak Purna ya, tapi film ini benar-benar memperlihatkan kepribadian kompleks para politikus yang selama ini kita simplifikasikan sebagai “Si Jahat” dan “Si Baik” hanya dari penampilannya di depan media.
Baca juga: Shinzo Abe Tewas, Bukti Terorisme Bukan Soal Ideologi dan Politik Semata Tapi Perut!
Hilangnya Kekuasaan Akibat Kecerobohan
Pak Purna punya potensi besar menang dalam drama perang pemilihan Bupati di daerahnya. Selain punya pengaruh dan nama besar yang cukup oke, Pak Purna juga punya ajudan yang bisa dia andalkan, Rakib.
Namun, seperti pengandaian yang sering muncul di film ini, Pak Purna yang nggak ngopi ternyata seorang yang kurang aware dengan sekitarnya. Dia kira orang yang selama ini di menjadi salah satu tim pentingnya akan selalu setia, ternyata dia tertusuk dari belakang.
Pengibaratan Pak Purna yang nggak ngopi tapi lebih suka ngeteh menjadi representasi di mana Pak Purna ini orangnya kurang aware terhadap sekitarnya. Kopi adalah perlambang kewaspadaan, dan teh lambang sifat yang santai.
Dalam dunia politik kecerobohan karena kurang aware dan terlalu percaya terhadap orang sekitar sering terjadi. Di sejarah Indonesia sendiri kita mengenal raja nan terkenal, yaitu Amangkurat I yang menjadi raja di Kerajaan Mataram yang merupakan cikal bakal Kesultanan Yogyakarta sekarang.
Dirinya yang berkuasa justru dikhianati oleh orang terdekatnya sendiri, yaitu para abdi dalem-nya dan keluarganya sendiri.
Selain itu ada pula pengkhianatan di dunia politik yang terkenal karenamerupakan cikal bakal berdirinya kerajaan terkuat se-nusantara, Majapahit. Saat itu Raden Wijaya yang merupakan pendiri Majapahit mengkhianati Pasukan Mongol yang membantunya melengserkan Jayakatwang, seorang raja yang membunuh Kertanegara, raja Singasari sekaligus mertua dari Raden Wijaya.
Para pasukan Mongol ibarat Pak Purna yang “suka ngeteh”. Mongol mengira partner terdekatnya, Raden Wijaya, akan menepati janjinya, tapi ternyata Raden Wijaya justru menumpas mereka setelah Jayakatwang berhasil mereka cabut nyawanya.
Sungguh plot cerita yang menarik kan?
Baca juga: Falsafah Kejawen Monkey D. Luffy
Sayangnya…
Namun, meskipun menjadi film yang penuh makna akan dunia politik, Autobiography memiliki satu hal yang bikin film ini kurang berkesan. Apa itu? Yap, ending-nya.
Penutup film berdurasi hampir 2 jam ini terkesan terburu-buru dan mendadak. Penyelesaian masalah seperti hanya 15 menit terakhir film ini. Sisanya? Sisanya adalah pengenalan cerita dan memunculkan masalah.
Permasalahan cara Autobiography menutup filmnya memang bikin tepok jidat. Selain karena masih memiliki masalah film-film Indonesia sejak jaman dulu, penutup yang kurang nendang bikin film ini jadi kurang berkesan.
Kalau kita berkaca dengan film-film yang pernah kita lihat, hal paling penting di sebuah film adalah penutupnya. Kenapa? Karena penonton akan jauh lebih mudah mengingat penutup film daripada poin-poin lainnya dalam sebuah film.
Jika saja Autobiography bisa menutup ceritanya dengan jauh lebih baik, bisa jadi film ini lebih ngena daripada realitanya sekarang.