Waktu Baca: 3 menit

Sebuah cerita tentang bagaimana indahnya hasil dari sebuah kejujuran

Debu membumbung tinggi di udara, bertebaran dihempas angin pasar. Siang kian membara, membakar kulit, menciutkan nyali para pejalan kaki.

Di depan salah satu toko kelontong, seorang gadis kecil menarik baju setiap orang yang dilaluinya.

“Tolok, Pak, Bu. Tolong ibu saya berobat ke dokter. Tolong bantu saya dan ibu saya, Pak, Bu.”

Tanpa kenal lelah gadis itu meminta pada orang-orang sepanjang jalan, tidak peduli meski didorong dan diusir pemilik toko, atau bahkan dibentak marah.

Ia berjuang tak kenal lelah. Rambut kusut yqng kemerahan dibakar matahari membawa pesan bagaimana sulit takdir memberinya ujian tapi, ia tetap bertahan dan berusaha.

Sudah belasan toko gadis ia lewati dengan tangan menadah, puluhan orang ia mintai, berharap setidaknya dapat menerima beberapa lembar uang untuk menebus obat.

Barangkali, harapan membawa ibunda tercinta ke rumah sakit untuk dirawat hanyalah harapan belaka. Terlalu tinggi untuk dicapai orang kecil sepertinya.

“Pak, Bu, tolong saya dan ibu saya. Ibu saya sakit, Bu, Pak. Tolong bantu ibu saya berobat.”

Wajahnya kusam berlapis debu, gadis kecil itu kehausan, tapi mengingat ibunya terbaring lemah di rumah kardus mereka, ia kembali mendorong semangatnya.

“Pak, Bu, tolong saya dan ibu saya.”

“Hei, Ryna!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan pakaian sama lusuh menghampirinya.

“Oh, Ardi. Hai juga.”

Hanya sekilas gadis itu menyapa balik, lalu kembali fokus meminta tolong dari toko ke toko.

“Hei, ibumu sakit lagi?” Ryna mengangguk sebagai jawaban, kakinya terus menapaki jalanan tanpa sandal.

“Oke, aku bantu cari bantuan ya.” Ucap anak laki-laki itu, mereka kemudian mencari bantuan bersama-sama.

Setengah jam kemudian, pasar tampak sepi, orang-orang sudah pulang ke rumah, sisa beberapa pedagang yang masih membereskan barang, hendak beranjak pergi.

“Wah, ada dompet!” Ardi berseru tertahan, berusaha tidak menarik perhatian. “Ryna, sini, ada dompet nih. Uangnya banyak.”

Demi mendengar kata ‘uang’, gadis itu bergegas menghampiri temannya, melongok saat menatap enam lembar uang kertas berwarna merah tersebut.

“Waah, banyaknya.”

“Bagus nih, bisa buat berobat ibu kamu!” Seru Ardi ringan sambil melesakkan uang itu ke dalam kantong plastik, lantas membuang dompet ke tong sampah.

“Eh, jangan!” Ryna sigap meraih dompet itu, merogoh uang dalam kantong plastik, meletakkannya kembali.

“Apaan sih, Ryna. Jangan dibawa dompetnya, nanti ketahuan kalau itu uang temuan.”

Ardi hendak merampas balik dompet itu, tapi jemari Rynna lebih gesit menghindar.

“Justru kita ga boleh pake uang ini. Aku mau kembaliin dompet ini ke pemiliknya. Mama bilang uang temuan itu haram.”

“Hei, tapi kamu butuh uang untuk  obatin ibu kamu, sekarang bukan waktunya mikirin halal haram.”

Baca juga: Mengenang Pak Bob, Inspirasi Pakbob.id

Setelah berdebat kecil, akhirnya diputuskan bahwa dompet itu harus dikembalikan ke pemiliknya. Ardi menggerutu sebal dengan keputusan itu, tapi ia tidak bisa apa-apa.

Bermodalkan alamat yang tertera di ktp dalam dompet, Keduanya menempuh perjalanan cukup jauh. Adalah setengah jam berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah bercat putih bersih.

Ragu-ragu Ryna mengetuk pintu.

“Iya, sebentar!” terdengar sahutan dari dalam, membuat kedua anak itu menelan ludah gugup.

“Oh, Hai. Ada apa ya?” Sapa seorang wanita berumur tiga puluhan dari balik pintu yang terbuka, tersenyum ramah menatap kedua tamu kecilnya.

Ryna menjelaskan kedatangan mereka sambil mengulurkan dompet kulit berwarna cokelat. Hal tersebut membuat wanita itu bersimpati. Ia pun mengajak keduanya masuk dan menyediakan mereka makanan.

Pakaian lusuh dan wajah yang kusam membuat wanita itu merasa kasihan.

“Kalian nemuin dompetnya di mana? Tante bahkan ga tau kalau dompet tante hilang.”

“Di pasar, Tan. Waktu kami cari bantuan buat ngobatin ibunya Ryna.” Ardi menjawab lugas, mulutnya cemong oleh remah roti dan cokelat.

Ryna hanya mengangguk, mulutnya penuh dengan roti. Entah kapan terakhir kali gadis itu makan makanan yang layak seperti ini.

“Memang ibunya Ryna sakit apa?”

Gadis itu menggeleng, ia kurang paham. Tepatnya tidak tahu. Ibunya belum pernah periksa ke dokter.

“Ya sudah, selesaikan makanan kalian dulu, setelah itu ayo kita bawa ibu Ryna berobat.”

Gadis kecil itu menelan makanan di mulutnya, menggeleng pelan sambil menatap lantai. “Saya ga ada uang, Tante. Ibu belum bisa berobat. Kalau boleh, saya mau minta tolong ke tante untuk belikan obat untuk ibu saya.”

“Kenapa Ryna ga ambil aja uang di dompet tante?”

Gadis itu menggeleng lagi. “Kata ibu, kejujuran itu nomor satu. Ibu selalu bilang ke Ryna, walau kami tidak punya apa-apa, kami harus selalu punya kejujuran. Karena itu adalah hal terakhir yang menjadikan kita manusia.”

Di tengah kehidupan yang begitu keras, hati gadis ini bersinar bak berlian.

“Kamu baik sekali, Ryna. Tante salut sama kamu. Maka dari itu, tante akan biayain pengobatan ibu kamu sampai sembuh.”

Mata gadis itu berkaca-kaca mendengarnya. Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, ada orang yang mau membantu pengobatan ibunya.

Di samping gadis itu, Ardi masih sibuk melahap roti cokelat di meja. Berusaha menghabiskan sebanyak mungkin.

Inilah sebuah kisah tentang hasil dari sebuah kejujuran.

Baca juga: Tips Memilih Tempat Kuliah Secara Tidak Jujur

Ilustrasi foto oleh Thirdman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini