Keadilan atau uang? Mana yang harus dipilih?
Di rest area Indomaret dekat taman Kendedes, Malang, duduk dua orang pria berbalut setelan serupa. Baru bertemu, sama-sama menunggu kendaraan umum yang mengarah ke Batu, kebetulan saja pakaian mereka sama. Kaus putih bertuliskan ‘Ngalam Kipa Ilakes’ jingga. Tak ayal, yang sebelumnya asing menjadi kenalan.
Keduanya terlibat dalam percakapan singkat, mendadak akrab hanya karena baju serupa. Kadang pertemanan memang bisa datang semudah itu, tidak berbeda dengan pertingkaian yang dengan santainya timbul hanya sebab salah kata. Sesimpel itulah peraturan di dunia kita ini.
Bermenit menunggu, angkutan umum yang dimaksud tak jua melintas. Yang lewat di sisi jalan layang hanya kendaraan pribadi atau jikalau ada angkot, bukan searah tujuan mereka. Pintu kaca terbuka pelan di kanan mereka, suara sapa pramuniaga yang mempersilakan dua orang customer terdengar nyaring. Semangat mengalahkan bisingnya kota di puncak hari. Siang kian membara, diimbangi obrolan kedua pria yang juga semakin panas. Mulai menjumput topik dari peristiwa-peristiwa menyangkut pemerintah dan Negara.
“Mas, sampeyan baca kasus penganiayaan oleh seorang remaja terhadap temennya, ndak?
“Yang mana ya?”
“Yang beberapa minggu lalu dimuat media itu loh?”
Yang ditanya tampak berpikir dengan kening berkerut, berusaha menggali ingatan terkait berita yang dimaksud. “Yang korbannya sampe gegar otak itu bukan sih?”
“Nah, iya itu.”
“He’em, gua baca di internet. Memang kenapa?”
“Udah baca kelanjutan kasusnya?”
Tanya yang terlontar berbalas gelengan pelan, pria berperawakan trendy itu memang tidak tahu-menahu karena kurang berminat dan kurang up-to-date tentang urusan hukum. Berbeda dengan sosok lugu berlogat kejawen di sebelahnya, hobi membaca berita.
“Si pelaku kabarnya ndak jadi dihukum, alesannya sih di bawah umur. Aneh ya, masa’ bisa begitu. Kalau memang alesannya itu, harusnya kasus anak kecil yang dulu ndak sengaja mencuri sendal juga ndak dihukum dong. Tapi kenapa anak itu malah dipenjara beberapa bulan, padahal dilihat bagaimana pun kesalahannya jauh lebih ringan dari si remaja ini.”
Sebagai tanggapan, pria di sampingnya mengangguk-angguk setuju. Tidak begitu tahu, tapi ingat pernah mendengarnya. “Iya juga ya.”
Dua pekan lalu memang ada kejadian yang membuat warga geger dan memprihatinkan, pasalnya ada seorang siswa yang merasa berkuasa dan suka menganiaya teman sekelasnya. Hanya karena bisa berkelahi, ia semena-mena merampas dan memukuli siswa lain, bahkan naasnya, salah seorang korban sampai dibenturkan kepalanya ke dinding hingga pingsan. Kini siswa malang tersebut masih menjalani perawatan karena mengalami gegar otak.
Obrolan mereka semakin mendidih, berbagai praduga tentang orang dalam yang punya hubungan dengan remaja tersangka kasus penganiayaan tersebut diutarakan. Yakin jika yang membuatnya tidak dijatuhi hukuman adalah antek-antek kenalannya di pengadilan. Pintu kaca didorong terbuka dari dalam, dua gadis yang tadi masuk sudah keluar dnegan belanjaan masing-masing. Tinggal mereka berdua yang ada di Indomaret selain staff.
Tanpa disadari kedua pria tadi, seorang anak kecil mendengarkan seksama setiap argumen mereka. Kaus lecek penuh robekan membalut tubuh kurus itu, kantung plastik besar penuh botol kosong ditenteng di tangan kanan, berikut besi panjang di genggaman kiri.
Dani baru berumur sepuluh, namun sudah mengerti arah pembicaraan dua pria beberapa meter dari tempatnya. Kegiatan memulung yang telah ia tekuni sejak satu setengah tahun lalu membawanya ke dunia baru, potongan koran dan buku-buku bekas memberinya banyak ilmu, membuatnya dewasa sebelum waktunya.
Diteguknya air putih bekal ibunda yang sekarang terbaring sakit-sakitan di rumah kardus mereka, duduk takzim mendengarkan perdebatan dua pria tadi, bersandar di dinding. Jika ada obrolan seperti ini, ia selalu menyempatkan berhenti, hitung-hitung beristirahat sambil menimba ilmu. Terik panas tak digubris, sudah biasa dipanggang siang.
“Aneh memang ya pemerintahan sekarang ini, katanya menegakkan keadilan, tapi kenapa malam membela pihak yang punya uang dan sanggup bayar mahal mereka? Harusnya mereka itu membela yang benar dan menghukum yang salah, toh?”
“Iya, gua juga kadang bingung dengan sistem hukuman yang ada. Mereka itu sebnarnya bekerja untuk keadilan atau untuk uang? Kalau mau uang banyak, mending cari usaha yang gak perlu melibatkan orang tak bersalah seperti itu.”
“Iya, kasian Indonesia jadi dipandang jelek sama masyarakatnya sendiri. Padahal yang buruk kan Cuma oknum-oknum tertentu.”
Dalam danau imaji miliknya sendiri, Dani bergumam dalam hati. Teringat kalimat yang pernah ia temukan pada buku kusam di tempat sampah, sebuah jendela ilmu yang datang dari tempat antah-berantah.
“Benar juga yang ditulis di buku itu. Tidak semua orang akan patuh pada lencana, tapi semua orang akan bertekuk lutut terhadap uang.”
Ilustrasi foto oleh Ekaterina Bolovtsova.
Baca juga:
Vonis Hukuman Mati Melanggar HAM?