Baru baru ini, Gubernur Jawa Tengah sekaligus bakal calon presiden, Ganjar Pranowo, menegur wartawan Lingkar TV bernama Fajar Mu’ti. Ganjar Pranowo menyebut bahwa wartawan Lingkar TV bernama Fajar Mu’ti itu wartawan ‘ra cetho’. Tudingan ini muncul setelah Ganjar mendapat pertanyaan terkait macet di jalan Juwana Batangan akibat perbaikan jalan yang tak kunjung selesai. Jawaban Ganjar Pranowo ini membuktikan bahwa Ganjar Pranowo, seperti sebagian besar politisi Indonesia, masih mengidap penyakit ad hominem.
Penyakit ad hominem adalah penyakit pikiran yang membuat kita membiasakan diri untuk mengadili orang karena sosoknya, bukan dari substansi perkataannya. Penyakit ad hominem ini juga muncul dalam sosok mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang sering berseberangan dengan wartawan TV One. Contohnya adalah ketika Ahok menghardik presenter senior, Andromeda Mercury, hanya karena ia menjalankan tugas.
Sikap Ganjar dan BTP ini tentu menimbulkan kekhawatiran karena budaya demokrasi Indonesia ‘terancam’ . Jika seseorang harus menjadi favorit pemimpin dulu untuk boleh berbicara, tentu akan menjadi berbahaya karena orang yang bersebarangan akan mendapat label yang tidak mengenakkan.
Bukankah ini mirip mirip dengan apa yang terjadi di Orde Baru ketika orang yang berseberangan selalu mendapat label komunis? Atau pada jaman Orde Lama ketika semua yang menentang Soekarno dilabeli Antek Kapitalis? Hasilnya adalah sebuah pemerintahan tanpa koreksi yang membuat Indonesia jatuh ke dalam krisis.
Karena itulah—mengingat Ganjar Pranowo dalam posisi unggul sebagai calon presiden—alangkah baiknya jika penyakit Ad Hominem ini jangan sampai berlanjut. Bagaimanapun membangun negeri juga memerlukan wartawan wartawan yang kritis untuk mengingatkan bahwa pembangunan jangan hanya terus dikerjakan tanpa koreksi. Koreksi itu penting supaya nantinya pembangunan menjadi suatu usaha yang holistik dan meminimalisir kesalahan kesalahan yang fatal.
Tidak perlu melakukan labelling pada suara suara yang sering berbeda. Memang tidak semua kawan kita. Akan tetapi, rival politikpun bisa menjadi sosok positif asal kita mau membuka ruang untuk mereka berdialog dan menyampaikan pendapatnya.
Pesan Presiden Jokowi
Pada ulang tahun ke 8 Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo juga mengingatkan bahwa jangan sampai praktek praktek labelling ini menjadi kebiasaan bagi partai partai di Indonesia terutamanya juga partai partai baru. Kemenangan bisa partai raih tanpa harus menjatuhkan orang lain dengan strategi strategi ad hominem yang justru menunjukkan ketidakdewasaan politik.
Melawan penyakit ad hominem ini bukan hanya terkait lawan politik, namun juga pada media. Sikap Ganjar pada Fajar Mu’ti seharusnya tidak bisa kita benarkan karena Fajar hanya menjalankan tugasnya dan pertanyaannyapun adalah pertanyaan yang masuk akal. Tidak semua media harus ‘cetho’ seperti kata Ganjar Pranowo karena dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3, semua orang bebas memiliki pendapatnya dan dalam UU Pers Pasal 14, tidak ada batasan warga negara Indonesia yang boleh mendirikan kantor pers atau tidak. Lalu, pada Pasal 17, telah ada penjelasan bahwa warga negara Indonesia memiliki hak untuk menegur jika terjadi pelanggaran prosedur hukum dan kebijakan yang kiranya tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Dengan demikian, meski Ganjar Pranowo tidak pernah mendengar Lingkar TV, tidak seharusnya Ganjar Pranowo memberikan teguran keras bagi orang yang ingin menanyakan hal hal yang kiranya pokok dan penting dalam kebijakan dewasa ini.
Baca juga :
Ganjar Pranowo Calon Presiden Favorit Tapi Di-Bully PDIP, Mau Naik Darimana Pak?
Ganjar Pranowo vs PDIP Berakhir Dengan Kepergian Ganjar Pranowo?