Waktu Baca: 3 menit

Sudah nonton video emak-emak yang minta nasi padahal doi bukan korban kebakaran Pertamina? Kalau belum coba kalian search dulu di Twitter, pasti bakalan ketemu. Buat yang sudah pasti bakalan terheran-heran. Kok bisa ya ada orang yang bukan korban kebakaran Pertamina tapi mau ngambil haknya para korban kebakaran Pertamina?

Kalau nonton di Twitter, Youtube, TikTok, pasti dibahasnya karena mental miskin ibu-ibu itu. Si ibu-ibu lebih suka minta-minta bahkan mau ngambil hak orang lain, mental miskin banget kan ya?

Tapi nih, nggak semudah itu buat kita judge si emak dengan mental miskin. Ada masalah lain yang lebih kompleks daripada mengatakan bahwa ibu itu punya mental miskin.

Urbanisasi Serampangan

Masalah Jakarta bukan cuma sekedar banjir saja. Ada pula satu masalah yang memperparah kondisi Jakarta sekarang, yaitu urbanisasi yang serampangan.

Sampai detik ini, Jakarta masih menjadi destinasi favorit untuk mencari pekerjaan. Mereka yang berpendidikan nggak mau kalah dengan mereka yang hanya modal berharap dapat pekerjaan di Jakarta. Bahkan, sampai sekarang, penduduk Jakarta masih terus meningkat. Kalau mengutip data dari BPS, jumlah warga yang hidup di kota yang sebelumnya bernama Batavia ini mencapai 10 juta jiwa, 2 kali lipat dari Singapura.

Banyaknya masyarakat yang hidup di Jakarta ini bikin pasar tenaga kerja jomplang. Istilah ekonominya, supply tenaga kerja jauh lebih besar daripada demand yang dibutuhkan. Pada akhirnya, masyarakat yang “sial” hanya bisa bergantung pada hidup yang pas-pasan.

Kehidupan pas-pasan inilah yang biasanya bikin seseorang lebih memilih berhemat. Maka dari itu, jika ada bantuan sembako meskipun hanya senilai 10 ribu, mereka bakalan nyikat bagaimanapun caranya.

Toh berhemat 10 ribu sebenarnya cukup lumayan kan?

Baca juga: Bisnis.muda.id Dibully Netizen, Ada Apa Lagi Ini??

Kenapa Nggak Berbisnis Aja? Mental Miskin Ya?

Kalau sudah tahu hidupnya berkekurangan, kenapa si ibu-ibu nggak bisnis aja? Biasanya orang-orang zaman sekarang nganggep bisnis sebagai jalan keluar dari seribu masalah dan judgement bahwa orang yang ga berani bisnis punya mental miskin.

Eittt… Ga segampang itu bung.

Bisa jadi kehidupan orang-orang kaya ibu-ibu yang satu itu nggak memungkinkan dia untuk berbisnis. Nggak semua masalah ekonomi jalan keluarnya adalah bisnis.

Salah satu syarat dalam berbisnis adalah mampu menanggung kerugian atau pendapatan yang nggak pasti. Masalahnya sekarang, jika seorang dengan ekonomi pas-pasan, mengeluarkan uang sedikit saja sudah menjadi resiko bagaimana bisa mereka berbisnis? Yang ada malah bisa makin boncos kan mereka.

Bisnis pun juga nggak gampang. Dalam menjalani bisnis perlu ada ketrampilan melihat peluang yang ada. Sayangnya, nggak semua orang punya ketrampilan kaya gini.

Coba deh kalian bayangkan jadi ibu-ibu yang sudah punya keluarga dan hidupnya mungkin pas-pasan kaya ibu-ibu yang minta bantuan, apakah iya kalian mau ambil resiko sebesar itu untuk bisnis? Pastinya nggak kan? Kalian nggak bakalan mau mengambil resiko yang merugikan keluarga bahkan diri kalian sendiri.

Solusi buat mereka kira-kira apa kalau seperti ini?

Pada akhirnya mereka yang hidup pas-pasan hanya bisa berharap pada bantuan kan?

Baca juga: 2 Tahun Pakbob: Bisnis Nggak Semudah Mulut Para Influencer

Pendidikan Nggak Merata

Pendidikan itu merubah pola pikir masyarakat. Hal ini sudah sangat terbukti. Biasanya orang yang berpendidikan pola pikirnya lebih terbuka dan lebih jernih.

Nah, masalahnya, kualitas pendidikan kita ini nggak merata, bahkan terkesan serampangan. Banyak guru yang sebenarnya nggak mau jadi guru, kurikulum berubah-ubah, bahkan beasiswa juga kurang bersahabat apalagi pada era ibu-ibu yang ikut minta bantuan itu.

Imbasnya ya jadi ribet. Ibu-ibu tersebut nggak bisa belajar secara maksimal di sekolah. Skill untuk pekerjaan dan kehidupan masih tergolong rendah. Selain itu, akibat pendidikan yang pas-pasan, bukan hal yang mustahil jika pola pikir si ibu ini memang nggak terasah.

Ketika ada bantuan datang, meskipun bukan buat dia dan keluarganya, ibu-ibu tersebut bakalan salah dalam memproses pikirannya.

Tapi kalau kita salahkan ibu-ibunya begitu saja, bukankah dia adalah produk dari pendidikan kita yang nggak merata dan semrawut?

Jika saja saya nggak mendapatkan keberuntungan untuk bisa merasakan dunia pendidikan yang baik, bisa jadi saya punya pola pikir kaya ibu-ibu itu.

Baca juga: Potong Rambut Siswa, Guru Thailand Disidang Kementerian Pendidikan Thailand

Lalu, kalau melihat kenyataan ini, apa iya masih mau mikir masalahnya cuma mental miskin semata?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini