Waktu Baca: 2 menit

Mau mulai dari mana? Tentu sangat obyektif sekali kalau saya menyebut Everything Everywhere All at Once sebagai film terbaik selama sepuluh tahun terakhir ini. Namun, anggaplah saya gila karena ya film ini adalah film terbaik sepuluh tahun terbaik versi Ardi Pramono. Tentu saya bicara ini setelah menghitung dua seri Avengers, Parasite dan Spotlight. Serius…sebenarnya membandingkan film film ini tidak bijak. Tapi menurut pendapat saya, film ini telah mendobrak cara lama Hollywood membuat film atau cerita. Everything Everywhere All at Once berhak mendapat semua penghargaan yang layak diberikan padanya.

Film Ini Tidak Takut Menjadi Berbeda

Banyak hal sulit yang dicoba di film ini seperti fast paced actions, filosofi, humor, sindiran politik, satire dan banyak lagi. Ini seperti makan semuanya sekaligus dan tampaknya Daniels dan timnya bersenang senang dalam film ini. Kabarnya seluruh CGI film ini dikerjakan lima orang saja. Luar biasa.

Di tengah kegilaan itu, pesan dari film ini sangat koheren, mengenai bagaimana keluarga Asia harus berhadapan dengan dunia baru, trauma dan juga kebodohan dari generasi ke generasi hanya karena enggan menggunakan empati.

Tentu bagi saya orang Tionghoa ini, film ini dapat saya rasakan artinya dan jujur saja, dampak menyaksikan film ini adalah penguatan akan kesulitan hidup yang saya hadapi.

Personal

Film ini akan selalu personal bagi mereka yang berketurunan Tionghoa. Banyak kebodohan dan kenaifan budaya, generasi yang lebih tua dan sebagainya yang membuat frustasi. Tapi kata kata dari karakter Joy membuat saya menyadari satu hal bahwa: pada akhirnya kita semakin lama akan merasakan bahwa kita ini hanyalah titik titik kebodohan kecil di dunia ini seiring penemuan baru. Lalu kenapa kita berusaha superior dan mencoba mencari pembenaran seraya sok kuat?

Film ini juga sangat personal untuk para aktor artisnya. Bagi Ke Huy Quan, ini adalah film yang menggambarkan perjuangannya sebagai seorang Asia untuk tetap eksis dengan segala cara dan akhirnya berbuah manis. Untuk Michelle Yeoh, ini adalah sebuah film yang menjadi bentuk kemarahannya akan sebutan artis kadaluwarsa dan ejekan karena beberapa waktu belakangan ia beralih dari langganan peran artis wanita love interest eksotis, menjadi ibu/ tante dari karakter utama hingga kemudian perannya sebagai Evelyn Wang ini mematahkan segala stereotype.

Evelyn Wang adalah orang yang terlalu keras pada dirinya sendiri hingga di satu titik ia belajar apa artinya berserah dan ikhlas. Untuk ukuran Hollywood, ini adalah film yang sangat spiritual dan membuat kita kuat dalam menghadapi keseharian kita.

Ini bukanlah lingkaran tanpa ujung. Kita berhadapan dengan kesulitan dari waktu ke waktu dan kita belajar bagaimana memahami kesulitan itu dengan ketidaktahuan kita dan tetap percaya bahwa menjadi baik dan yakin pada mimpi adalah kunci dari keberhasilan.

Ditambah faktor faktor teknis yang telah saya sebutkan tadi, apalagi yang bisa diperdebatkan dari fillm Everything Everywhere All at Once? Ini adalah film yang luar biasa. Menabrak semua pembatas di dunia film, sangat filosofis dan pemeran pemerannya benar benar memainkan peran mereka secara personal dan sangat mendalam.

Baca juga :

Mengapa Film Asia Menguasai Hollywood?

Artis Cerdas Tapi Diperlakukan Bak Artis Porno di Hollywood

Anggy Umbara Dan Roger Corman, Miripkah Mereka?

Kapan Waktu Yang Tepat Untuk Putus?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini