Gara gara cuitan Kiky Saputri yang ditanggapi sinis oleh oknum dokter. Kiky Saputri justru dibela habis habisan oleh netizen yang mendukung komika wanita itu. Ya meskipun cuitan Kiky Saputri terhitung pedas, namun netizen sangat suportif pada Kiky Saputri. Usut punya usut,netizen setuju dengan cuitan Kiky Saputri dan tak terima Kiky Saputri dituduh tidak menghargai profesi dokter. Menurut mereka, Kiky Saputri hanya membalas tweet Presiden yang mengeluh kenapa banyak orang berobat ke luar negeri dan membuat Indonesia kehilangan devisa hingga 165 Triliun Rupiah. Menurut Kiky Saputri, berdasar pengalamannya, kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia memang tidak terlalu membanggakan. Namun seberapa buruk sebenarnya kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia?
Berdasar Penelitian
Faktanya, kompetensi dokter di Indonesia memang sangat berhak dan boleh dipertanyakan. Berdasarkan indeks dari world population review, kualitas pelayanan kesehatan Indonesia ada di ranking 80an sedunia. Dibandingkan Singapura, Thailand dan Malaysia kita sangat jauh. Mereka ada di peringkat 60an.
Berdasarkan U.S. News Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada yang disebut sebut sebagai sekolah kedokteran terbaik di Indonesia ada di peringkat #407 dan #883 secara berurutan.
Berdasarkan WHO, kualitas pelayanan kesehatan kita cukup buruk dan termasuk terendah di dunia dalam nilai kepedulian pada kesehatan. Hanya 2,9 persen GDP kita digunakan untuk layanan kesehatan. Hanya ada 1 dokter untuk 5000 penduduk. Dengan kondisi demikian, itu artinya negara seharusnya negara memberikan ruang lebih untuk seseorang menjadi dokter. Tapi tidak, biaya untuk masuk sekolah kedokteran lewat jalur mandiri adalah 250 juta rupiah sementara gaji dokter sendiri berkisar tertinggi di angka 10 juta jika ia menjadi general practicioner.
Tingkat Malpraktik di Indonesia
Rendahnya jumlah dokter di Indonesia juga berarti kemungkinan malpraktik yang lebih besar karena dokter berada dalam situasi yang melelahkan dan itu berarti memungkinkan terjadinya kesalahan yang tinggi. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Matthew Grissinger dalam penelitian yang ia lakukan di Pharmacy and Therapeutics Journal.
Banyak juga kejadian salah diagnosa oleh dokter di Indonesia. Sebenarnya, kesalahan diagnosa ini bisa dikurangi jika ada 2nd or 3rd opinion serta pembelajaran yang baik untuk dokter. Namun yang terjadi adalah kita saja belum yakin dengan kualitas dokter di Indonesia. Dengan mahalnya biaya menjadi dokter, banyak dokter yang dipertanyakan kualitasnya apakah bebar benar bisa praktek atau tidak? Bahkan ada kasus skripsi yang dibuatkan. Padahal ini konteksnya dokter, pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi.
Selain itu masyarakat juga tidak lupa dengan kasus Pritta misalnya yang malah dituntut balik karena menceritakan pengalaman buruk atas kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Belum lagi kasus kasus kualitas pelayanan kesehatan yang menyedihkan macam kasus anak yang terpotong jarinya atau debat kusir layanan ‘cuci otak’ di Indonesia.
Memang dengan berbagai masalah ini, nampaknya keputusan Kiky Saputri dan banyak orang lain mencari layanan kesehatan alternatif tidak bisa kita salahkan.
Baca juga :
Main Hakim Sendiri Jadi Bukti Kualitas Masyarakat Rendah
Tren Autodiagnosis urusan kesehatan mental
Bayi Kopi Susu Sachet Ternyata..
Apa Bahaya Kopi Paracetamol Yang Ditemukan BPOM?