Pendidikan bukan cuma di sekolah, tapi di angkringan pun bisa.
Belajar itu nggak cuma di sekolah saja, tapi bisa di tempat-tempat lain yang mungkin kesannya “nggak wajar” buat tempat belajar. Tapi, tempat belajar yang “nggak wajar” ini justru malah jadi salah satu tempat belajar yang jauh lebih asik di sekolah.
Pertanyaannya sekarang yang keluar adalah “kenapa bisa belajar di tempat yang nggak wajar malah jauh lebih asik?”. Jawabannya ada di tulisan saya ini.
Tulisan ini akan memperlihatkan betapa pentingnya kita belajar di tempat yang ga wajar, yaitu di angkringan. Dari sini akan kelihatan betapa pentingnya angkringan di dunia pendidikan Indonesia.
Angkringan Itu Apa?
Menurut kompas.com yang, tentang ‘Sejarah Angkringan dari Desa Ngerangan Klaten, Kini Populr di Yogyakarta’ angkringan sudah ada sejak tahun 1930-an. Meski populer di Yogyakarta, tempat makan ini sebenarnya muncul oleh seorang laki-laki yang bernama Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan, Klaten.
Nama angkringan berasal bahasa Jawa, yaitu angkring yang artinya adalah alat dan tempat jualan makanan keliling. Jadi pada masa awal berjualan, Eyang Karso dan Mbah Wirso memilih untuk menjajakan makanannya dengan menggunakan gerobak pikul.
Bentuk gerobak pikul merupakan sebuah gerobak yang di bagian kanan dan kirinya terdapat gerobak kecil dengan ukuran sedang yang bagian atasnya ada sebuah pikulan dari bahan kayu. Dengan adanya pikulan ini, maka pedagang bisa dengan mudah membawa barang dagangan mereka dengan berkeliling.
Seiring berjalannya waktu, angkringan tak lagi dijual dengan cara dipikul, tetapi dijual dengan bentuk gerobak dengan dua roda di sampingnya. Menu angkringan yang banyak dan harganya yang murah meriah menjadi alasan bagi mahasiswa dan wisatawan untuk datang ke sana. Salah satu menu yang paling populer di sana adalah nasi kucing. Nasi kucing adalah kuliner yang di dalamnya terdapat nasi dan lauk pauk.
Lauk pauknya bisa berupa orak tempe, telur balado, sambal goreng kentang ati, dan lain sebagainya. Keunikan dari nasi kucing adalah ukurannya yang kecil sehingga mirip dengan porsi makanan kucing. Biasanya orang akan membeli 2-3 nasi kuning untuk memenuhi porsi makan normal. Tak hanya nasi kucing, ada beragam jenis sate yang juga menjadi makanan kesukaan yang banyak pembeli coba.
Baca juga: Sejarah Angkringan : Mulai Dari Kampung Sampai Solo
Tempat Belajar yang Baik
Selain tempat makan yang murah, angkringan juga menjadi tempat perjumpaan antar golongan masyarakat, baik dari siswa sekolah hingga yang sudah bekerja. Mereka duduk bersama tanpa ada pembatasan kasta sosial, dan saling cerita atau bertukar ilmu atau pengalaman.
Seorang siswa/siswi atau mahasiswa dapat belajar tentang ilmu atau wawasan yang penting namun tidak mereka dapatkan di bangku sekolah dan sebaliknya. Perjumpaan tersebut menghasilkan sebuah dialog atau dialog (diskusi fenomena yang terjadi) yang lebih santai sambil menikmati menu di angkringan tersebut.
Perjumpaan yang santai sambil berdiskusi membuat sebuah gerobak sederhana dapat menjadi sebuah sekolah kecil tanpa kelas sosial dan saling belajar antar individu. Hal ini kelihatan berbeda dengan sekolah formal yang siswa atau peserta didiknya harus mengikuti alur pemikiran guru ( walaupun pengetahuan guru belum tentu benar) siswa hanya dijadikan boneka yang harus mengikuti atau ‘nurut ‘ gurunya.
Dari fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja serta penididkan yang bebas adalah pendidikan yang membebaskan peserta didiknya berfikir kritis dan berekspresi sesuai bidang nya, tidak melulu belajar disertai tugas berlebihan yang mengakibatkan peserta didik mengalami setres dan tidak membuat peserta didik bahagia.
Baca juga: Mencicipi Pelajaran Kehidupan yang Hadir di Angkringan