Jangan pernah berpikir bahwa penutupan patung Maria dapat selesai dengan menumpas orang intoleran!
Penutupan patung Maria memperburuk citra Jogja bahkan Indonesia yang sudah terkenal dengan sifat masyarakatnya yang intoleran. Pada sebuah riset yang Social Progress Index lakukan yang menilai besar-kecilnya sifat toleransi suatu negara, Indonesia menempati peringkat 117 dari 128 negara, yang mana berarti Indonesia adalah bangsa yang intoleran.
Biasanya, kita selalu berharap agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang toleran bukan? Terutama jika soal agama dan suku. Tapi, sayangnya, sifat intoleran nggak bisa kita tumpas sama sekali. Orang-orang yang berusaha menumpas sifat intoleran mirip dengan Caligula yang ingin mengalahkan Neptunus dengan menusuk-nusuk laut.
Kenapa Kita Bisa Intoleran?
Mula-mula fokus harus tertuju pada kenapa intoleransi bisa muncul. Sebenarnya, sikap intoleran bisa kita lihat sebagai salah satu sistem pertahanan seseorang. Sebagai contoh saja, ketika pada masa pra sejarah dahulu, manusia sudah mengembangkan sikap intoleran dengan merasa bahwa kelompok lain adalah musuh yang perlu ditumpas segera. Pada akhirnya, dari banyak “jenis” manusia, hanya homo sapiens yang bertahan.
Sikap “memusuhi” pihak yang berlawanan ini masih mendarah daging buat manusia hingga sekarang. Mereka yang berada di suatu kelompok, akan berpotensi untuk “melawan” kelompok lainnya baik dalam taraf pertengkaran sederhana sampai mengacaukan sosial.
Kebiasaan manusia untuk berkelompok dan berkonflik dengan kelompok lainnya sebenarnya sudah bisa dilihat sejak masa sekolah. Contoh sederhana rivalitas antar kelas di satu angkatan. Mungkin saja belum ada yang pernah merasakan, tapi saya yakin ada yang merasakan rivalitas ini seperti saya.
Pada saat SD dahulu kelas A dan kelas B adalah rival abadi sejak sekolah memutuskan untuk membagi dua angkatan kami. Setiap hari isinya adalah bentrok-bentrok-dan bentrok, apalagi saat olahraga, beuhhh saya merasakan El Clasicco zaman Mourinho dan Guardiola dulu.
Padahal, sebelum pemisahan kelas ini ada, angkatan kami adem ayem saja. Menarik kan? Ya inilah kelemahan dari sistem kelompok manusia. Setiap kelompok akan terus ingin menjaga eksistensi mereka dan salah satu agar selamat adalah dengan sikap intoleran dan memusuhi. Saat itu, agar eksistensi kelas kami tetap terjaga, memusuhi kelas B adalah hukum yang wajib ditaati. Maka, kelas B, selayaknya sifat manusia, juga berpikir hal yang sama.
Baca juga: Aneh Sampai Tua, Ketika Kecerdasan Intrapersonal 0 Besar
Tidak Mau Mengenal
Pada subbab kedua ini, saya akan menggarisbawahi kalimat pertama di paragraf terakhir saya di subbab sebelumnya yaitu, “Padahal, sebelum pemisahan kelas ini ada, angkatan kami adem ayem saja“. Kenapa kok bisa tadinya adem ayem saja cuma gara-gara berkelompok akhirnya malah berseteru.
Semua berawal dari batasan orang untuk saling mengenal satu sama lain. Pada sebelum kelompok kelas A dan B terbentuk, setiap siswa punya peluang untuk mengenal satu sama lain tanpa batasan.
Sayangnya, semua berubah ketika negara api menyerang pengelompokkan kelas A dan B ini muncul. Setiap kubu siswa bukan hanya mendapatkan batasan secara ruang tapi juga identitas. Kelas A akan membuat identitas mereka sendiri dan begitu pula kelas B. Saat zaman saya SD dulu, kelas A memang dikelompokkan sebagai siswa cerdas, sementara kelas B terstigma sebagai siswa-siswa “kasta kedua” meskipun ada orang yang cerdas tergabung di kelas tersebut.
Kedua identitas ini memang jarang ada perantara sebagai “agen persatuan”, yaitu guru dan orang tua. Di dalam dunia pendidikan anak, memang sangat jarang ada pelajaran kehidupan untuk berdamai dengan kelompok lain termasuk yang dianggap sebagai kaum negatif (siswa nakal).
Sejak di sekolah, manusia memang terdidik untuk menjadikan batasan identitas sebagai tembok tebal pemisah yang menutup kemungkinan saling mengenal. Sebagai contoh, jika kamu anak baik maka hindari si buruk atau jika kamu anak cerdas (akademik, bisa jadi kelas A saya) maka hindarilah si bodoh (akademik, bisa jadi kelas B teman saya).
Pada masa kecil ini sebenarnya adalah momen krusial buat membiasakan anak-anak untuk mau mengenal, bukan memusuhi. Tidak ada sebuah diskusi baik itu dari orang tua maupun guru untuk memahami kenapa ada anak SD yang merokok atau diskusi kenapa kelas A dan B itu ada. Siswa selalu terjebak dalam ruang dan identitas yang ada untuk memisahkan mereka dengan kelompok lainnya.
Ini pula yang terjadi dengan nenek moyang kita terdahulu yang berakibat adanya perang yang terus berkecamuk bahkan hingga sekarang. Satu kelompok (suku, bangsa, negara dll.) akan memusuhi bangsa lainnya hanya untuk mempertahankan pandangan mereka sendiri. Mereka membangun tembok setinggi dan setebal mungkin yang mempertahankan identitas mereka dan menumpas orang lain.
Bukan Menghilangkan Intoleransi, Melainkan Menekannya Agar Tidak Meledak
Apakah mungkin kita menghilangkan intoleransi? Jawabannya bisa, jika kita ada di dunia yang ada di bayangan kita sendiri. Sayangnya, kita hidup bukan di sebuah angan-angan fana tapi realita yang nggak jarang memang menguapkan harapan dan idealisme kita.
Setiap orang, setiap kelompok akan memiliki intoleransi terhadap suatu hal yang mungkin menguntungkan pihak lain baik itu soal suku, ras, agama, lingkungan, maupun ekonomi.
Sebagai contoh mereka yang ingin menumpas plastik, memandang plastik hanya pencemar lingkungan semata, padahal, plastik menyelamatkan ekonomi masyarakat. Penggunaan plastik memiliki alasan, yaitu biaya yang rendah. Coba saja bayangkan jika makanan yang sekarang memiliki bungkus plastik tiba-tiba mengalami perubahan, pasti harganya melonjak. Demi identitas mereka sebagai orang yang ingin menyelamatkan lingkungan dan kepedulian terhadap lingkungan, mereka intoleran dengan sudut pandang ekonomi. Begitu juga sebaliknya.
Maka, yang menjadi PR bukanlah menumpas sikap intoleran, tapi mencegahnya agar nggak meledak-ledak. Caranya sebenarnya cukup sederhana, biasakan diri maupun orang lain untuk saling mengenal. Mereka yang saling mengenal nggak akan meledak-ledak sikap intolerannya.
Sebuah penelitian antara tikus hitam dan putih sudah memperlihatkan bukti yang nyata. Tikus hitam dan putih yang saling mengenal akan saling membantu. Sementara itu, tikus yang hanya hidup di kelompoknya yang sejenis akan menciptakan batasan untuk menolak membantu tikus yang berbeda kelompok dengannya.
Sudah cukup berangan-angan menumpas sifat intoleran. Sifat ini adalah sifat bawaan dan dasar manusia. Dibatasi saja, jangan ditumpas.
Baca juga: Benarkah Paper Bag Lebih Bahaya daripada Kantong Plastik?